Terdapat kontradiksi dalam judul
pameran ini: Green Plastic Trees.
Apabila judul tersebut mewujud sebagai sebuah benda, maka ia adalah pohon
plastik. Warna dan bentuknya menyerupai pohon, namun sifatnya yang tidak lekang
oleh waktu, tidak tumbuh, tidak hidup, dibuat oleh manusia, dan berbahan dasar
plastik membuatnya menjadi pohon-pohonan:
pohon jadi-jadian. Meskipun pohon ini memiliki dua elemen penting dalam
usahanya menjadi sebuah pohon, namun tetap saja ia sintetis dan palsu.
Dari sudut pandang yang lain,
pohon malang yang dicap palsu tersebut bisa jadi merupakan sebuah karya yang
terinspirasi oleh alam dan representasi dari dunia nyata. Ia diletakkan di
sudut meja kerja atau di dalam sebuah pusat perbelanjaan untuk menghadirkan
kealamian di ruang tersebut. Bisa saja pohon tersebut merupakan perwujudan
bentuk fisik dari keindahan, kejujuran, dan hal-hal baik lainnya. Sebuah usaha untuk menciptakan suasana yang
ideal.
Mungkin saja, merujuk pada
kepercayaan Aristoteles atas ide dasar mimesis, pohon tersebut merupakan usaha
pembuatnya untuk menyempurnakan apa yang dilihatnya di alam dengan menghilangkan
siklus dan kesementaraannya. Bukankah penciptaan representasi atas alam
tersebut merupakan hal yang akrab dikenal dalam dunia seni? Sedangkan kebutuhan
untuk selalu menghadirkan kealamian tersebut muncul di berbagai sisi kehidupan
yang lain; mulai dari backdrop studio
foto bergambar pemandangan gunung dan sawah, sebuah padang yang membentang di
dalam layar komputer, tagar yang memanggil foto-foto alam yang seragam di instagram, pembuatan taman di halaman
belakang, hingga gerakan organik dan tindakan aktivisme yang memperjuangkan
kelestarian alam.
Dibalik kebutuhan untuk
menghadirkan kealamian di tengah kehidupan tersebut, bagaimanakah sesungguhnya
hubungan manusia dengan alamnya? Apakah posisi alam terdapat di perbincangan
tentang keindahan semata dan berhenti sebagai hiasan di dalam ruangan yang
terpisah dari alam yang sebenarnya?
Perbincangan tentang hal-hal yang
alami dan yang artifisial, meskipun tidak selalu menjadi oposisi biner yang
kaku, semakin hangat belakangan ini. Dalam usaha manusia mengendalikan atau
hidup berdampingan dengan alam, akan terdapat titik di mana campur tangan manusia
berhenti dan alam mengambil alih kendali. Demikian juga sebaliknya; infrastruktur
kota dibangun dengan penuh pertimbangan atas ekosistem di sekitarnya, taman
pribadi tidak hanya diciptakan atas dasar keindahan namun juga atas proyeksi
ideal sebuah cara hidup yang harmonis, dan keintiman hubungan manusia dengan
alam tidak melulu menjadikannya tidak lagi alami.
Hubungan antara alam dan manusia tidak
hanya menjadi sebuah tema pameran namun juga sebagai pertanyaan kritis bagi
Grafis Minggiran sendiri sebagai sebuah studio grafis yang banyak menggunakan
bahan kimia, kertas, air, serta menghasilkan limbah. Hingga saat ini, kepedulian
mereka atas lingkungan membuat mereka melakukan strategi pembuangan limbah dengan
upaya menetralisir limbah kimia tersebut. Mungkin saja bahan-bahan organik yang
ramah lingkungan akan segera digunakan di dunia grafis dan ide besar tentang
sebuah pohon hijau tersebut tidak lagi berbahan dasar plastik. Saat itu, mungkin
alam tidak hanya menjadi sebuah objek dan sumber inspirasi namun juga menjadi
sebuah pertanggungjawaban ekologis.
Pameran ini tidak berupaya untuk
menjawab kegamangan atas hubungan manusia dengan alam maupun melakukan dikotomi
atas yang sintetis dan organik. Pameran ini merupakan kumpulan
pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Seperti halnya dalam seni, bukankah setiap
orang memiliki kebebasan atas pemaknaan yang berbeda terhadap alam dan pola
hubungannya?
(Mira Asriningtyas – untuk pameran Green Plastic Tree oleh Grafis Minggiran di Greenhost)