Poetry of Space: Catatan (Pejalan) Kaki


“Every story is a travel story- a spatial practice.” [i]


Anggap ini sebagai sebuah catatan seorang pejalan kaki: sebuah antologi percakapan serta pertanyaan yang tidak menuntut jawaban. Bagi saya (dan mungkin beberapa orang yang berkunjung ke Jakarta), kota ini adalah sebuah konsep. Sebuah kota yang memiliki makna berbeda-beda bagi setiap individu yang bersentuhan dengannya. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kota yang penuh harapan, kota yang membentuk status sosial, kota tujuan, kota yang dihindari. Para penulis ternama memanggil kota ini sebagai kota yang penuh ketakutan serta membuat ‘tua di jalan’[ii], kota yang ‘tiba-tiba malam, tiba-tiba pagi’[iii], dan kota yang terlanjur[iv]. Jakarta adalah kota yang memiliki banyak panggilan sayang yang begitu personal. Mereka yang memberi sebutan tersebut, tentu saja, bertahan untuk tetap tinggal di Jakarta dengan berbagai siasat dalam menghadapi kompleksitasnya. Konon, berbagai problematika yang dihadapi Jakarta adalah problematika yang wajar dihadapi kota-kota besar yang sedang berkembang. Namun dalam perkembangannya, apakah kota tersebut juga sedang tanpa sadar menghancurkan diri sendiri? Jakarta adalah sebuah kota yang memerlukan komitmen dan keteguhan untuk mencintainya. Proyek ini adalah seperti usaha untuk sekali lagi melakukan ‘kencan’ dengan ia yang meskipun mungkin, namun sulit untuk dicintai. Mungkinkah kita menghayati kota ini tanpa usaha (yang mungkin sia-sia) untuk memperbaikinya?

Seorang teman yang selama hidupnya tinggal di Jakarta pernah berkata bahwa saat ia pulang ke Jakarta dari kota lain; ia merasa tidak seperti ‘pulang’ namun seperti berangkat bekerja. Saya, tentu saja, sebagai warga kota Yogyakarta yang konon santai dan penuh kedamaian, memandang konsep tersebut dengan ngeri. Tidakkah melelahkan untuk tinggal di kota semacam itu? Atau justru dinamikanya lah yang membuat manusianya bersemangat dan terus bergerak? Bukankah dinamika itu yang membuat hidup tidak membosankan dan terus menerus maju?  

Jakarta pernah menjadi sebuah kota yang penuh harapan, sebuah lambang kemenangan. Bahwa kota ini begitu kompleks, kita secara umum memahaminya. Juga bahwa kota ini masih terus saja menarik banyak orang untuk datang, pergi, dan bertahan di tengah kekacauannya. Bagaimanapun juga, kompleksitas ini lah yang menjadi sumber inspirasi banyak seniman dan penulis ternama. Menyelami Jakarta adalah seperti memasuki sebuah swalayan yang menyediakan stimulasi, inspirasi, dan kejutan. Tentu saja, itu pun ketika kita tidak berlari terlalu cepat di dalamnya hingga kanan kiri hanya terlihat serupa gambar kabur yang berjatuhan di belakang sana.

Pertanyaan awal saya adalah bagaimana jika saya mengajak seniman dari Yogyakarta dan seniman lain dari Jakarta untuk menghayati kota ini dan menemukan sisi puitis di tengah kekacauannya. Bagaimana memadukan cara pendatang dan penduduk lokal memandang kota ini sementara saya (yang meskipun sempat beberapa saat hidup di Jakarta), saat ini juga merupakan turis di kota ini? Mudah saja bagi kami untuk mencari dengan jeli keindahan dari kota ini sementara kami tidak benar-benar mengalami hidup yang konon katanya ‘keras’ di sini. Namun bagaimana dengan mereka yang sudah lama hidup di kota ini dan memandang sekelilingnya sebagai bagian dari rutinitas yang biasa saja? Apakah romantisme yang melankolis semacam ini bahkan masih dibutuhkan oleh kota seperti Jakarta?

Awalnya, proyek ini berupaya untuk mencari keindahan di tengah ketidaksempurnaan. Sebuah upaya untuk menghayati jalannya waktu yang perlahan dan sebagaimana adanya untuk menikmati hal-hal yang tidak permanen. Dalam proyek ini, para seniman diundang untuk memelankan langkah dalam usaha untuk menghargai, alih-alih menyempurnakan. Menawarkan kejutan dan puisi pendek atas ruang-ruang sepanjang salah satu jalan yang paling sibuk di kota ini.

Para seniman lintas disiplin diundang untuk berjalan kaki sepanjang Jl.Jend.Sudirman untuk merasakan, mengamati, membaca, dan memaknai ruang kota. Narasi ini kemudian ditampilkan dalam sebuah seri intervensi ruang publik sepanjang jalan untuk kemudian ditemukan oleh para pejalan kaki dengan cara yang berbeda-beda pula. Para penikmat pun adalah mereka yang rutin menjadi pejalan kaki atau orang-orang lain yang diundang untuk mengalami kota dengan berjalan kaki, mencari kejutan-kejutan kecil yang mungkin ditinggalkan, dan mengalami apa yang ‘dituliskan ulang’ tentang kota ini oleh para senimannya. Melalui potongan-potongan kisah ini lah para seniman maupun pemirsa bersama-sama  ‘menuliskan’ sebuah antologi tentang ruang di dalam diri mereka masing-masing.


Space / Place : Tentang Sebuah Bentang yang Membuat Orang Mudah Lupa
Dalam sebuah simposium, Prof.Rudolf Mrazek[v] membuat pidato yang membekas di ingatan saya. Dengan puitis, ia menggambarkan hari pertamanya di Jakarta: dini hari, dari dalam sebuah taksi yang dengan lancar membelah kota. Saat itu, semuanya terlihat ideal, geometris, tanpa hambatan, dan menuju ke sebuah titik akhir di ujung sana. Dalam keadaan serba geometris tersebut dan dalam perasaan takut untuk keluar dari jalur, kita harus terus berjalan lurus dan tidak menengok ke belakang. Masa lalu berjatuhan dan pada saat ini, semuanya baik-baik saja. Jakarta dalam kecepatannya, adalah sebuah bentang alam yang membuat orang mudah lupa: a landscape of forgetting.

Ketika membayangkan Jakarta di masa lalu, struktur jalan memang dibangun dengan geometris. Di tangan Soekarno, sebuah poros dibangun dengan membelah kota Jakarta sebagai penghubung antara wilayah Utara dan Selatan dalam bentuk jalan lurus. Tentu saja geometri tersebut hanya bisa dirasakan pada saat-saat tertentu saja. Jalan yang lurus lancar pun bisa menjadi jalan yang menantang saat macet. Sedangkan macet, adalah salah satu perjuangan yang terus menerus dihadapi oleh masyarakat Jakarta.

Namun di lain pihak, waktu berjalan dengan berbeda di kota ini. Terkadang detaknya begitu cepat. Seketika hari berubah, penghujung tahun berada di depan mata, dilewati dengan penuh harapan, dan dengan cepat kembali berakhir. Ketika bayangan atas geometri dalam bentang jalanan tersebut runtuh; justru arus kecepatan waktu lah yang menciptakan bentang yang membuat orang mudah lupa. Di dalam kehidupan di kota ini, adalah penting untuk melaju dengan kecepatan dan ketepatan ‘jalan yang lurus’. Sedangkan dalam tuntutan ketepatan waktu, jalanan menjadi sebuah ruang yang netral. Masyarakat berpindah dari titik satu ke titik berikutnya dengan fokus yang tinggi tanpa menjadikan jalanan sebagai bagian dari dirinya.

“They walk- an elementary form of this experience of the city; they are walkers whose bodies follow the thicks and thins of an urban ‘text’ they write without being able to read it”.[vi]

Sebagai kota yang sarat makna, Jakarta menyimpan banyak frasa yang menanti untuk dibaca. Para seniman diajak untuk berjalan kaki sepanjang Jl.Jendral Sudirman sebagai para tukang keluyur (flâneur) dengan kebebasannya untuk mengamati dan membaca ruang dengan kesadaran dan pengalaman spasial yang utuh. Bagi Carteau, sebuah kota lengkap dengan bangunan, jalanan, dan manusianya; adalah sebuah bahasa yang bisa dilestarikan dengan berjalan kaki di dalamnya. Meskipun demikian, kota seperti Jakarta konon dirasa kurang ramah untuk para pejalan kaki, apalagi mereka yang berkeluyuran tanpa tujuan. Di kota ini, berjalan kaki pun dilakukan dengan tergesa-gesa dalam usaha memperpendek jarak waktu antara titik keberangkatan dengan titik tujuan- antara rumah dengan kantor, antara pertemuan satu dengan lainnya. Pengalaman untuk berjalan dan melamun, mengamati dan memaknai kota, serta menyerahkan diri sepenuhnya pada cengkeraman jalanan adalah sesuatu yang asing.

Konon, Jl.Jendral Sudirman merupakan salah satu jalan utama dalam aksis yang diciptakan oleh presiden Soekarno. Di jalan tersebut banyak bangunan bersejarah yang dibangun dalam proyek mercusuar Soekarno. Dalam membangun Indonesia baru, Soekarno berusaha untuk menghilangkan makna, memulai dari nol, dan membiarkan ruang-ruang ini untuk untuk diisi dengan memori baru. Sebuah tempat dan etalase jalan mungkin berubah seiring berjalannya waktu, namun sebuah ruang menyimpan memori yang tersimpan di dalam lapis demi lapis cat yang terus menerus diperbaharui. Di jalan ini, memori apakah yang tersimpan hingga sekarang?

Jalan ini dipilih tidak semata-mata karena nilai sejarahnya namun juga karena jalan ini merupakan area segitiga emas dan area bisnis yang begitu sibuk. Sebelum menjadi kawasan utama di Jakarta, puluhan tahun yang lalu kawasan Sudirman masih berupa lahan kosong dan lahan perkebunan. Jalan ini membentang sepanjang 4 KM dari perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan dan di dalamnya terdapat secuil trotoar untuk para pejalan kaki. Jalan lurus yang sibuk ini, meskipun tidak mampu menjadi cerminan atas kompleksitas kotanya, namun merupakan potongan dari  sebuah bentang jalanan yang geometris, serba cepat, dan lurus (untuk tidak menyebutnya lancar). Sebuah potongan bentang alam kecil yang mewakili konsep landscape of forgetting baik dari bentuk fisiknya hingga percepatan waktu dan kehidupan manusia yang mengakses jalan ini.  Begitu lah proses ‘keluyuran’ berjalan kaki (flâneurie) menjadi penting dalam memberikan kesadaran spasial bagi setiap individu dalam proyek ini. Ruang (space) dalam hal ini memerlukan pengalaman tubuh untuk membedakan maknanya dari sebuah geometri berupa tempat (place)[vii].


Space / Pause : Tentang Fragmen-Fragmen dan Usaha Memelankan Langkah
 Dito Yuwono memutuskan untuk terjun pertama kali ke jalanan beberapa saat setelah kedatangannya di Jakarta. Saat itu hari Minggu, hari bebas kendaraan bermotor. Jalanan terasa lebih ramah dan rute-rute yang sulit dilalui dengan berjalan kaki (seperti menyeberangi area Semanggi) menjadi lebih mungkin dilakukan. Dito melakukan intervensi terhadap bangku-bangku yang ada di Jl.Jendral Sudirman dengan meletakkan binokular berlensa warna mawar (rose-colored glass) dan narasi pendek yang akrab dengan keseharian masyarakat urban. Sebagai seorang seniman berbasis fotografi, ia menawarkan bingkai tersendiri yang mengajak pemirsanya untuk mempersempit ruang pandang dan menemukan hal-hal detil di tengah keramaian yang seolah tanpa jeda. Keberadaan bangku sebagai furnitur publik itu pun dilihatnya sebagai sebuah jeda bagi para pejalan kaki yang kelelahan, orang-orang yang sedang menanti, dan mereka yang sedang memilih tujuan. Baginya, berjalan kaki memperluas wilayah pandangnya dari yang semula sebatas bingkai jendela (mobil atau bus) menjadi sebuah pengalaman fisik yang membebaskan. Dari area pejalan kaki, ia membentuk narasi personal tentang orang asing yang dilihatnya dari kejauhan. Delapan buah binokular dengan delapan skenario berbeda diletakkan di empat titik di jalan tersebut.

Sehari setelahnya, seperti dugaan kami sebelumnya, seluruh binokular tersebut hilang dari lokasi peletakannya. Meskipun tetap mengejutkan, hal ini sudah diprediksi dan bukan hal yang disesalkan oleh sang seniman. Ketika karya tersebut hilang, berbagai skenario baru muncul dalam bayangannya: mungkinkah aparat menertibkan vandalisme yang dilakukannya dengan ‘binocular bombing’ ini (meskipun dipasang tanpa merusak bangku dan didesain dengan mudah dilepas)? Mungkinkah dinas pertamanan membersihkannya? Enam binokular hilang dengan rapi- lengkap dengan akriliknya, sedangkan dua binokular lainnya dilepas secara paksa dan menyisakan sedikit akrilik di bangku tersebut. Salah satu skenario favorit sang seniman adalah membayangkan binokular tersebut dilepaskan secara paksa lalu diberikan sebagai mainan bagi seorang anak. Baginya, lebih menyedihkan apabila karya tersebut utuh tidak tersentuh oleh orang yang terlalu sibuk untuk memperhatikan keberadaannya. Fungsi, masih merupakan hal yang penting bagi kota semacam ini. Meskipun mungkin karya tersebut tidak diambil untuk dijual kembali, namun bisa saja binokular tersebut digunakan untuk fungsi yang bersifat lebih rekreatif.  

Anggun Priambodo memilih untuk mengambil kutipan-kutipan dari tokoh ternama dan menempelkannya di sekitar 200 titik sepanjang jalan Sudirman. Ia membayangkan kutipan-kutipan itu akan menemani seseorang dalam menjalani harinya. Anggun mengumpulkan kalimat-kalimat tersebut dari buku dan ucapan seorang tokoh yang disukainya. Ia mencoba untuk mengejutkan para pejalan kaki atau orang-orang yang sedang menunggu dengan kehadiran kutipan-kutipan ini. Idenya adalah bahwa orang-orang yang kelelahan dan menemukan kata-kata tersebut mungkin akan memiliki reaksi yang berbeda-beda; mungkin marah, mungkin berpikir ulang tentang kehidupan, atau mungkin biasa-biasa saja.  

Dalam prosesnya, ia menemukan banyak kejutan dan interaksi yang tak terduga dari orang-orang yang ada di pinggir jalan. Beberapa kali ia menutupi dan mengganti stiker iklan yang sudah terkelupas di sepanjang jalan itu dengan stiker kutipan miliknya. Pemasangannya pun disesuaikan dengan lokasi dan asumsi siapa kah yang mungkin akan menemukannya. Beberapa anak jalanan dan tukang ojek yang melihat Anggun menempelkan stiker-stikernya beberapa kali menghentikannya untuk melihat apa yang ditempelkan. Beberapa orang mengira Anggun bernama Tan Malaka, beberapa lainnya tidak mengenal Pramoedya, dan hampir sebagian besar merasa akrab dan setuju dengan kutipan oleh Gus Dur. Proses ini kemudian berkembang menjadi usaha untuk memberi nafas baru, memperpanjang usia kata-kata, dan memperluas distribusi gagasan yang tertulis di dalamnya.

Bagi Anggun, manusia Jakarta adalah manusia-manusia yang dibentuk menjadi sama. Meskipun kecil, setiap individu perlu untuk secara sadar mengubah rutinitasnya dan menjadikan hari-harinya kembali segar. Meskipun besar dan tinggal di Jakarta, baginya wilayah Sudirman ternyata adalah wilayah yang selama ini dia hindari. Berjalan sepanjang jalan ini membuatnya merasa seperti turis di kotanya sendiri- begitu asing namun juga begitu akrab. Bagi saya, berjalan bersama Anggun beserta semua percakapannya mengingatkan atas percakapan dua pengangguran yang berjalan kaki tanpa arah mengelilingi Monas dalam cerpen “Ikan-Ikan yang Terdampar”[viii]. Jenis obrolan tanpa arah yang hanya mungkin terjadi dalam kisah para tukang keluyur. Tidak melulu di Jakarta, selalu menarik untuk membicarakan tentang kehidupan.

Di hari yang sama, Yudha Sandy membuat sebuah performans yg menampilkan dirinya sebagai seorang reporter. Ia ingin melihat penilaian orang atas kamera serta melihat respon mereka. Ia ingin melihat bagaimana pemakai jalan menyingkapi sebuah kerja kamera yang 'menyerobot' ruang pejalan kaki di trotoar. Trotoar adalah ruang publik yang terkadang diserobot oleh keperluan korporat maupun individu lain. Sandy tertarik melihat respon pejalan kaki lain, sejauh mana ia akan ditegur, dan sejauh mana toleransi para pejalan kaki (yang kebanyakan adalah pekerja) dengan orang yang sedang terlihat menjalankan tugasnya. Di titik lokasi yang dipilihnya, orang-orang begitu sibuk dan tergesa-gesa. Ketika seniman memasuki ruang publik yang seramai jalanan Jakarta pada pukul 9 pagi, ia hanya mampu sebatas merencanakan dan apa yg akan terjadi di jalanan tidak bisa ditebak. Performans, bagaimanapun, adalah seni yg siap untuk tidak dilihat.

Dalam praktiknya, para pejalan kaki tidak menaruh curiga pada Sandy dan menyikapinya dengan maklum sebagai bentuk perampasan ruang publik yang umum terjadi. Di area yang riuh dengan pejalan kaki itu sandi berpindah posisi pengambilan gambar sebanyak tiga kali, lengkap dengan kabel microphone panjang yang menyita banyak ruang. Sebagian orang tetap acuh tak acuh berjalan, sebagian lainnya memilih untuk turun dari trotoar dan berjalan di jalan raya untuk tidak masuk atau mengganggu syuting, sementara sebagian lainnya menampakkan gestur tidak nyaman ketika Sandy berusaha untuk berinteraksi. Dalam usaha berinteraksi ini lah Sandy mulai mengarang kisah tentang sebuah channel TV independen (PoS Channel) yang diceritakan sebagai sebuah saluran televisi yang secara khusus meliput sejarah nama jalan dan patung-patung di Jakarta. Dalam performansnya, Sandy menceritakan kisah pembangunan patung Sudirman, biaya pembuatannya yang tidak berasal dari APBD DKI Jakarta namun dari pengusaha yang kemudian mendapatkan salah satu titik iklan terbaik di Jakarta, dan betapa pembangunannya sempat menuai protes dan unjuk rasa sekelompok pemuda karena posisi Jendral Sudirman yang menghormat seakan tidak pada tempatnya.   

Alih-alih merampas ruang publik, Pasangan Baru (Nastasha Abigail dan Dimas Ario) memilih untuk memanfaatkan ruang sisa berupa box telepon umum bekas yang berada di dekat halte busway Bendungan Hilir. Ruang sisa tersebut diubah menjadi sebuah Ruang Jeda di mana orang bisa menghindar sejenak dari hingar bingar untuk mengasingkan diri dari keramaian. Di dalam Ruang Jeda tersebut terdapat kompilasi lagu yang menenangkan beserta instruksi yang meditatif selama 12 menit. Sebagai pengguna busway dan pejalan kaki, Nastasha dan Dimas terbiasa dengan kehidupan yang adalah sebuah perjalanan dari titik satu ke titik berikutnya. Mereka merasa bahwa manusia Jakarta selalu terburu-buru dan tidak sabar. Di lain pihak, mereka melihat kerumunan liyan yang memiliki karakteristik seperti mereka yang merupakan pekerja kantoran kelas menengah ini sebagai subjek individu yang membutuhkan jeda.

Pada prakteknya, Ruang Jeda menjadi salah satu karya yang sedih dan berubah menjadi intervensi yang begitu melankolis. Kebanyakan orang terlalu sibuk untuk berhenti dan bersedia mengambil jeda yang ditawarkan. Sebagian dari mereka terlihat takut, sebagian tidak memberi kesempatan untuk penjelasan, sementara sebagian lainnya berkata bahwa mereka terburu-buru. Pada prosesnya, kedua senimannya justru melakukan banyak refleksi atas diri mereka sendiri justru karena mereka sama-sama pekerja 9-to-5 yang mungkin juga seterburu-buru itu di jalan. Kenapa selalu terburu-buru? Kenapa waktu, yang bisa saja ada bila diluangkan, selalu tidak dimiliki? Pada saat itu lah mereka memutuskan untuk mengambil jeda mereka sendiri dengan berdiri di dalam box telepon, menikmati karya mereka sendiri sembari mengamati dunia berputar di sekeliling mereka selama 12 menit dan melanjutkan jedanya dengan duduk selama 12 menit. Di saat bersamaan, karya ini menjadi karya yang  paling banyak mendapatkan bantuan dan interaksi dari publik yang justru bukan publik yang dituju; mulai dari para musisi jalanan, tukang ojek, hingga penjaja makanan yang berada di lokasi tersebut. Lokasi tersebut ternyata bisa dilihat sebagai lokasi jeda, lokasi penantian, dan juga lokasi kerja bagi mereka. Keakraban yang terbentuk di area ini pun semacam keakraban dalam sebuah rumah singgah untuk bersama.

Di hari terakhir, sebuah kejutan menanti kami: demonstrasi buruh besar-besaran terjadi di ujung jalan Sudirman dan kota ini untuk sementara lumpuh tepat di tengahnya. Yonaz yang mempersiapkan intervensinya di halte Dukuh Atas, berhadapan dengan fakta bahwa jalur busway untuk sementara dihentikan dan orang yang banyak lalu lalang di sekitar area tersebut jumlahnya menurun drastis. Sebelumnya, Yonaz berjalan sepanjang jalan Sudirman dan di tengah istirahatnya ia menemukan suara burung lirih di sekitar sungai. Ia kemudian merekam suara tersebut dan merangkainya menjadi sebuah nada lagu pendek. Nada tersebut dimainkannya selama berada di perjalanan di dalam bus dan di jembatan penyeberangan busway Dukuh Atas.

Ia berusaha untuk mengejutkan orang dengan suara burung yang terasa lirih dan hanya terdengar bila kita benar-benar memberi perhatian atasnya. Sulit untuk dipercaya bahwa pada tahun 20an, Jakarta merupakan kota yang hijau dengan banyak ruang terbuka dan rerimbunan pohon. Pada tahun 1946, sebuah survey menemukan 256 spesies burung di Jakarta. Tentu saja jumlahnya menurun drastis saat ini. Fakta bahwa ruang hijau yang tersisa terpencar-pencar mempersulit burung-burung ini terbang dengan aman dan jauh.  Dalam prosesnya, justru lumpuhnya area tengah kota ini lah yang mendukung karya Yonaz. Jalanan menjadi sepi dari hingar bingar sehingga suara burung bisa terdengar dengan cukup jelas, orang-orang yang terjebak karena tidak ada busway menjadi lebih ramah dan menikmati adanya nada dari suara burung yang terpasang. Lagu “Di Sini Senang, di Sana Senang” yang dilantunkan burung2 ini bisa dilihat seperti sindiran yang menyebalkan namun bisa juga sebagai sebuah penyemangat bagi mereka yang sedang menuju suatu tempat.


A Place where Time is Irrelevant: Tentang Jeda
Saya sempat bertanya-tanya kenapa bahkan seniman yang berasal dari Jakarta pun yang, asumsinya, tidak berjarak dengan kota ini masih menawarkan jeda dalam karyanya?

Space yang berarti ruang bisa juga bermakna sebagai jeda. Dalam salah satu percakapan, seorang dari kami mengatakan bahwa “bukan kah seni memang menawarkan jeda, dan seni adalah jeda yang dibuat serius?”. Maka begitulah, hampir semua proyek yang dibuat setiap seniman adalah tentang memberikan jeda dan mengajak orang bermain-main. Jeda, adalah sebuah tempat di mana waktu tidak lagi relevan. Proyek ini bisa dilihat sebagai sebuah pertemuan sosial yang subtil, eskapisme di jalanan, dan sebagai pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Bagaimanapun, bukan kah seni ada untuk membuat orang bertanya-tanya alih-alih menjawab pertanyaan? 

Jakarta, bagi saya, bukanlah kota yang tanpa jeda juga. Bukan kah kota ini secara rutin mendapatkan ‘bonus’ liburan saat jalanan mendadak lumpuh karena banjir atau demonstrasi? Tentu saja itu adalah pola pikir saya sebagai seorang pengunjung di kota ini. Mereka yang hidup di dalamnya mungkin melihat kelumpuhan kota di waktu-waktu tertentu itu sebagai sesuatu yang semakin membuat kota ini sulit dicintai alih-alih memberikan jeda. Jakarta adalah sebuah kota yang sangat dramatis. Bagaimana mungkin seorang performer, misalnya, meminta perhatian publik saat ada demonstran yang dengan monumentalnya berhasil membawa seekor sapi ke tengah bundaran HI, penjaja kasur dan kolam renang karet besar warna-warni mengitari mobil di tengah macet; serta adanya demonstran lain yang memperjuangkan keadilan bagi hewan-hewan dengan  mengenakan baju kostum hewan beraneka ragam dikelilingi polisi yang jumlahnya hampir lebih banyak dan menjadikan pemandangan tersebut begitu kontras.

Suspens, drama, dan kejutan2 kecil— apabila berhasil ditemukan, membuat orang-orang ini bukannya tanpa jeda. Pernah suatu saat banjir melanda dan saat itu lah jeda massal terjadi. Saat itu, manusia-manusia Jakarta sedikit terbebas dari keterburu-buruannya. Beberapa orang yang terjebak banjir mulai menikmati keadaannya untuk piknik di pinggir jalan. Tidak ada pilihan lain selain menjadikan hari itu sebagai hari libur dadakan— dan menikmatinya. Tentu saja para penjaja makanan, kopi panas, dan penjual asongan memanfaatkan saat itu dengan sebaik-baiknya. Konon katanya saat banjir; sempat ada biawak yang terlihat di pinggir jalan, seseorang berseluncur dan menaiki jetski di jalan raya, sementara polisi membantu seorang pengendara Rolls Royce mengeluarkan air dengan ember dari dalam mobilnya yang macet karena banjir. Bahkan suatu saat saya pernah melihat seorang membawa kail dan ember, seakan hendak memancing—di tengah jalan tol! Entah dia seorang seniman performans atau salah satu orang yang memanfaatkan libur mendadaknya, saat itu saya mendapati Jakarta sebagai sebuah kota yang sangat lucu: humoris, romantis, dan penuh kejutan.

Maka karya-karya ini pun hanya bisa dinikmati dengan berjalan kaki untuk mencari. Dalam pencarian tersebut, orang mungkin akan menemukan hal-hal kecil sehari-hari yang mungkin tak kalah puitisnya. Bahwa mungkin keseluruhan karya ini hanya fragmen-fragmen dari sebuah kisah perjalanan semata, mungkin saja! Tapi mungkin hanya dengan mengetahui bahwa ada sesuatu— ada sebuah karya seni yang tesembunyi di belantara jalan Sudirman; jalan ini terlihat lain. Ada hal-hal subtil yang tidak terlihat, eskapisme yang serba sesaat, harapan dan pertemuan sehari-hari yang mungkin bermakna atau mungkin biasa saja. Dalam kesendirian pulau-pulau individu ini, apakah hanya turis yang mengalami kejutan-kejutan kecil yang ditawarkan Jakarta atau semua orang mampu menemukannya dalam keseharian? Apakah puisi diperlukan di kota semacam ini ataukah hal-hal yang praktikal saja yang dibutuhkan?

Saat itu senja turun di pinggir jalan raya Sudirman dan pertanyaan demi pertanyaan masih bergulir. Kami menanti seseorang, siapapun, berhenti di ruang jeda. Kami duduk di sebuah bangku kayu tua. Di belakang kami ada beberapa musisi jalanan yang memainkan berbagai lagu tanpa henti. Di depan kami, orang sibuk lalu lalang sepulang dari kerja, Pasangan Baru masih berusaha ‘menawarkan’ jasanya dalam memberi jeda. Mendadak suara jalanan yang riuh tergantikan oleh keceriaan para tukang ojek yang bersama-sama memberikan tepuk tangan pada Kopaja yang sesak oleh penumpang dan berusaha keras pindah jalur dengan segala resikonya. Waktu seperti melambat dan kami seperti duduk di bangku VIP dalam sebuah teater di dalam ruang kota. Di tengah belantara keasingan ini, kami menemukan puisi yang begitu subtil sehingga begitu mudah juga terlewatkan. Saat kita berhenti sejenak, kota ini dengan segala gejolaknya, ternyata cukup puitis juga…  




*****


(english)

Poetry of Space: (on) Foot Note

*****

"Every story is a travel story- a spatial practice."[i]

Consider this as a walker's note: an anthology of conversations and questions that do not require any answer. For me (and probably some people who visited Jakarta), this city is a concept. A city that has a different meaning for each individual in touch with it. Some people see it as a city full of hope, a city to build one's social status, a destination, while other sees it as a city to avoid. Some renowned authors named it as a city full of fear, one that make people grow old on the road[ii], a city where 'suddenly, it's night time.. and suddenly, it's morning again'[iii], and a city where nothing can be done anymore to undo the situation[iv].  Jakarta is a city with many highly-personal nicknames. Those who give those names, of course, insisted to stay in Jakarta with various tactics to deal with its complexities. Some says that those problems that Jakarta is facing right now are usual problem faced by growing major cities. But in its process of developing, is the city also being unwillingly destroys itself? Jakarta is a city that requires commitment and determination to love. This project is like an attempt to once again go out on a 'date' with a city that even though possible, but difficult to loved. Can we appreciate the city without trying (which may be in vain) to fix it?

A friend who spent her lifetime living in Jakarta, once said that whenever she returned to Jakarta from another city; she does not feel like 'coming home' but more like going to work. I, of course, as a citizens of a (supposedly) relaxed and peaceful city like Yogyakarta, looking at this concept with dismay. Isn't it exhausting to live in such a city? Or was it the dynamic that actually make people excited and keep on moving?

Jakarta was once a city full of hope, a symbol of victory. The complexity of the city in general is well understood; and also the fact that the city still continues to attract many people to come, go, and survive the chaos. However, this complexity is a never-ending source of inspiration for many famous artists and writers. Submerging into the city of Jakarta is like entering a supermarket that provides stimulation, inspiration, and surprises. That is, however, if we do not move too fast that the view start to blurred and falling behind.

My initial question was what if I invite artists from Yogyakarta and other artists from Jakarta to wander in the city to find the poetic side of its chaos. How to integrate tourist and local gaze upon a city when even I (despite having lived in Jakarta for awhile years ago), am now also a tourist in this city? Isn't it easy for us to seek for beauty in this city when we do not actually experience the supposedly 'harsh' life here. But what about those who is living in this town and see their surroundings as an integral part of their daily routine? Is this some sort of melancholic romanticism still needed by a city such as Jakarta?

Initially, this project seeks to find the beauty in imperfection. An attempt to live up slower pace of time and enjoy things that are not permanent. In this project, the artists are invited to slow down and try to appreciate, rather than perfecting. Offering surprises and poetry on spaces along one of the busiest street in the city.

The cross-disciplinary artists are invited to walk along Jl.Jend.Sudirman to feel, actively observe, read, and interpret the urban space. The narrative is then presented in a series of public space interventions along the way to later be found in many different ways by those who walk. The audience are also those who regularly becomes a pedestrian or other persons who are invited to experience the city on foot, looking for little surprises that may be left behind, and experience what 're-written' about this city by the artists. Through the fragments of these stories was the artists and the audiences 'write' an anthology of the space.

Space / Place: About A landscape of Forgetting
In a symposium, Prof.Rudolf Mrazek[v] made a speech that lingers in my mind. He pictured his first day in Jakarta; in the wee hours of the morning, from inside a taxi smoothly divides the city. At that time, everything looks ideal, geometric, uninhibited, and going to a vanishing point. In the geometric homogeneity and in fear of deviation; we have to keep on moving forward, not looking back. The past fall behind you and at this point, everything is fine. Jakarta in such speed, is creating a landscape of forgetting.
When we imagine Jakarta in the past, the structure was built in geometry. In the hands of Sukarno, a shaft was built to divide the city as a liaison between the North and the South in the form of a straight highway. Of course, the geometry can only be found at certain moments. Even the smooth straight road can be challenging when jammed. And traffic jam, however, is one continuous battle fought by the people of Jakarta.
But at the other hand, time flows differently in this city. Sometimes it beats too fast.  The day suddenly change, the end of the year is in sight, passed with full of hope, and suddenly ended again. When this illusion of geometry at the street spans collapsed; the speeding flow of time is the one creating the landscape of forgetting. Living in this city, it is important to move with speed and accuracy of a straight pathway. While in fulfilling the demands of timeliness, the street becomes a neutral space. People are highly focusing on moving from one point to the next without making the streets as part of himself.

"They walk- an elementary form of this experience of the city; they are walkers whose bodies follow the thick and thins of an urban 'text' they write without being able to read it. "[vi]

As a city full of meaning, Jakarta has a lot of phrases waiting to be read. The artists are invited to walk along Jl.Jendral Sudirman as an aimless stroller (flâneur) with the freedom to observe and reading the space with awareness and intact spatial experience. For Carteau, a city with its buildings, the street, and its people; is a language that can be preserved by walking in it. However, a city like Jakarta is not exactly pedestrian friendly; especially not to those who wander aimlessly. In this city, even walking is done in haste in an attempt to shorten the distance of time between the point of departure to the destination-- between home and the office, between one meeting to another. The experience of walking and daydreaming, observe and interpret the city, and surrenders to the grasp of the street is considered something unusual.

Jl.Jendral Sudirman is one of the main roads in the axis created by President Sukarno. Along the high street, there are a lot of historical buildings in the 'lighthouse-project' initiated by Sukarno. In building the new Indonesia, Sukarno tried to eliminate meanings, starting from zero, and let these spaces to be filled in with new memory. A place and the facade of the street may change over time, but the space contained the memory-- preserved in the layers and layers of paint that is continually updated. In this street, is the memory preserved?

This street have not been chosen merely because of its historical value, but also because the golden triangle business is located in this busy area. Before becoming a major area in Jakarta, many years ago, Sudirman was still consist of vacant lands and plantations area. The road runs along the 4 kilometers from the border of Central Jakarta and South Jakarta; and in it, there is a piece of pavement for pedestrians. A straight busy street like this, although unable to be the represent the complexity of the city, represent a piece of geometric fast-paced landscape. It is a small piece of landscape that represents the concept of landscape of forgetting; either in its physical form or the acceleration of time and human life who are accessing the street. So was the wandering and the walk (flâneurie) becomes an important part in providing spatial awareness for each individual in this project. Space, in this case, requires physical experience to distinguish its meaning with the geometric form of the place[vii] .


Space / Pause: On Fragments and an Attempt to Slow Down
Dito Yuwono was first to decide and dive right into the streets just a moment after his arrival in Jakarta. It was Sunday: a car-free day. The street seemed more friendly and the routes that are barely passable on foot (like crossing the Semanggi area) becomes more feasible. Dito make an intervention on several benches along Jl.Jendral Sudirman by attaching rose-colored binocular  completed with short narratives that are familiar with everyday urban society. As an artist using photography, he offers a framed space that invites people to narrow the view and find details in the crowd. The existence of those benches as public furniture is providing pause itself for the weary walkers, those who are waiting, and those who are trying to make up their mind to choose the destination. For Dito, walking is a way to expand his view point outside the framed window of a car or a bus.
At the same time, flâneurie become a liberating physical experience. From the pedestrian area, Dito creates personal narrative about a stranger who can be seen from a distance. Eight binocular with eight different scenarios laid out in four points on the road.
A day later, as we have predicted earlier, the entire binocular went missing. Although it was predicted and not exactly regretted by the artist, it was still shocking nevertheless. With the work went missing, a variety of new scenarios formed: was it possible that the security people curb the 'binocular-bombing' that might be considered as vandalism (although it was actually installed without damaging the bench and was designed to be easily removable)? Could it be the cleaning service's attempt to clean up the bench? Six binoculars went missing in a more pristine way as if it was never there at the beginning, yet, two other binoculars was removed by force, leaving a messy part of acrylic on the bench. One of the artist's favorite scenario is to imagine the binocular forcibly removed and given as a toy for a child. For him, it is more distressing when the work is ignored and remain untouched by people who are too busy to pay attention to its existence. Function seems to still be an important thing for this kind of city. Although these works may not be taken for resale, but the binoculars might be used for functions that are more recreational.

Anggun Priambodo choose to take 22 quotations from famous people and put them on about 200 points along Jalan Sudirman. He imagined such quotations will accompany a person to live a day. Anggun collects sentences from books and wise words from a character he likes. He tried to surprise pedestrians or people who are waiting with the presence of these quotations. The idea is that people who are exhausted will find these words and might possibly react differently. They may be upset, rethink about life, or maybe will not react at all.
In the process, Anggun found a lot of surprises, ordinary encounters, and unexpected interaction of people on the road. Many times he covered and replace the advertisement stickers that have been chipped along the road with his quotation stickers. The decision to install was depends on the context of the location and on the assumption of whom are most likely to find it. Some street children and motorcycle drivers who saw him doing this sticker bombing start to show their curiosity, making Anggun stop a few time to show them what he taped along the street. Some of these people think he was Tan Malaka, some do not have any knowledge of Pramoedya, and most of them are familiar and agree with the quote by Gus Dur. The process is then developed into an attempt to give a new breath, extend the life of those words, and expand the distribution of ideas that is written in it.
For Anggun, the human of Jakarta are seem to be molded into the same kind of person. No matter how small the attempt, every individual needs to consciously change the routine and make their day-to-day life refreshed. Although he grow up and live in Jakarta, Sudirman turned out to be an area he avoided. Walking along this road makes him feel like a tourist in his own city-- so foreign yet so familiar. For me, walking with Anggun and all the conversations we had reminded me on a conversation shared by the two unemployment who are walking aimlessly around the national monument in the "Stranded Fish" short story[viii] . The kind of directionless chit-chat that might only happen in the story of a flâneur. Apparently, not only in Jakarta, it is always interesting to talk about life.

At the same day, Yudha Sandy makes a performance that presents himself as a reporter. He wanted to see how people react to the presence of a video camera. He wanted to see how people on the street walk around the camera that occupy their sidewalk space. The sidewalk is a public spaces that sometimes appropriated by corporate and other individual needs. Sandy interested in seeing the response of other walkers, the extent to which he will be reprimanded, and the extent to which the walkers (who are mostly workers) tolerate those who are seemingly performing their duties. The location he chose is a location where people are so busy with their mind and are in a hurry. When an artist enter such public space as busy streets of Jakarta at 9am, he can only plan and yet, what will happen on the streets are remain unpredictable. Performance, however, is an art with a heart wide enough to be neglected.

In its process, the unsuspecting pedestrians react positively to this kind of public-space occupation. In their understanding, Sandy was not a performer but a reporter who are working professionally. In such a busy area, Sandy took three different shooting positions, completed with long microphone cable that takes a lot of spaces. Some people remain indifferent, while others choose to come down from the sidewalk and walked across the highway to not enter or interfere the filming process, while others shows their uncomfortable gestures when Sandy tried to interact with them. In this attempt to interact with people was when Sandy started to compose a story of an independent TV channel called "PoS Channel" that is told as a television channel specifically covering the history of street names and statues in Jakarta. In his performance, Sandy tells the story of the statue of Sudirman, the cost of manufacture which was not originate from the city budget, but from entrepreneurs who then get one of the best advertising spot in Jakarta, and how its construction was met with protests and rallies a group of youths for the position of General Sudirman are saluting seemed out of place.

Instead of depriving the public sphere, Pasangan Baru (Nastasha Abigail and Dimas Ario) choose to utilize the leftover-space in the form of a former public telephone booth near Bendungan Hilir busway station. The remaining space is converted into a space where people can pause for a moment to escape from the frenetic to isolate themselves from the crowd. In the Pause Room, there is a compilation of songs and a soothing meditative narrative playing for 12 minutes. As a busway user and pedestrian themselves, Dimas and Nastasha are accustomed to a live on the move-- jumping from one point to the next one. They feel that human of Jakarta are always in a hurry and impatient. On the other hand, they saw a crowd of otherness which has characteristics such as those who are middle-class office workers as individuals who need to respite.

In practice, Pause Room become one of the saddest works and turned into a melancholic intervention. Most people are too busy to stop nor willing to take the pause offered by Pasangan Baru. Most of them look scared, most did not even provide a room for explanation, while others said that they were in a hurry. In the process, both of the artists did a lot of reflection on themselves because they are both share similar traits with these people-- working 9-to-5, and always rushing on the street. Why do these people always in a hurry? Why time, which could have been there when allocated, always possessed? At that low point, they decided to take a break themselves by standing in the phone booth, enjoying their own work while observing the world revolves around them for 12 minutes before continuing taking a break by sitting there for another 12 minutes. At the same time, this work was the one with most help and interaction of the public who was not the initial subject intended; ranging from street musicians, motorcycle drivers, until the food vendors who are waiting in these locations. The location itself turned out to be a location where people take a break, the location where people are waiting, and also the location where these people work. Friendliness was formed in this area as a kind of intimacy shared in a halfway house for the joint.

On the last day, a surprise awaits us: a massive labor demonstration occurred at the end of the Sudirman street and temporarily paralyzed the city. Yonaz, who prepare his intervention in the Dukuh Atas skyway, has to deal with the fact that the busway lanes is temporarily suspended and that the number of people passing the area dropped dramatically. Few weeks before the intervention, Yonaz took a long walk along Jalan Sudirman and in the middle of his well-deserved rest he found the faint sound of birds around the river. He then record them and arranged them into a short tune. The tone was played while he was on a trip on the bus and at the skyway bridge on Dukuh Atas busway station.

He tried to surprise people with the faint sound of the birds and was only audible when someone really pay attention to it. It is hard to believe that in the 20s, Jakarta was a green city with lots of open space and a grove of trees. In 1946, a survey discovered 256 species of birds in Jakarta. Of course, the numbers dropped dramatically at this time. The fact that green spaces are left scattered complicate these birds to fly safely. In the process, the temporary paralyze of the middle area of this city somehow supported Yonaz's artwork. The streets became deserted from the frenetic so that the sound of the birds could be heard quite clearly, people who are stuck because the busway was temporarily not operating become more friendly and start to enjoy the tone of the chirping birds. The song "Happy Here, Happy There" was sung by the chirping birds and can be seen as a satire that sucks, but also as an encouragement for those who are heading somewhere.

A Place where Time is Irrelevant: On Pause
I was wondering why even the artists from Jakarta whose assumingly has no detachment to the city, still offers a kind of pause in his work?

Space can also mean a place, and it can also mean a pause. In one of our many flaneur conversation, one of us said that "Isn't art offer and located in a pause, and art is a seriously-made-pause?". That is how almost all projects made by these artists offer a kind of a playful pause. Pause, is a space where time is irrelevant. This project can be seen as a subtle social encounters, offering small escapism in the street, and endlessly asking questions. However, art is there to make people wonder instead of answering question, isn't it?

Jakarta, for me, is not entirely a city without a pause. Isn't it the city that regularly get a 'bonus' holiday when the street is suddenly paralyzed by the flood or demonstration? Isn't it a city where people understand how precious their limited time is? It was, of course, my mindset as a visitor in this city. Those who actually live in the city it might disagree and consider this regular 'bonus' as something that makes the city's increasingly difficult to be loved rather than consider it giving a pause. Jakarta is a very dramatic city. How could a performer, for example, demand for public's attention when there are protesters gloriously managed to bring a cow into the middle of the HI roundabout, a vendor selling mattress and a large colorful rubber swimming pool walking around a car in the middle of a traffic jam; and the existence of other demonstrators who fight for animal rights wearing animal costumes surrounded by policeman as many as the protestor, creating a contrasting scene.

Suspense, drama, and surprises-- when successfully found, make these people not without a pause. There was once a big flood hit the city and a mass pause occur. At that time, helplessly, these people are free from their hurried pace of time. Some people who were trapped in this floods begin to enjoy the situation for a picnic on the roadside. There is no other option but to make the day as an unexpected holiday- and enjoy it. Naturally,  the food vendors, hot coffee sellers, and the hawkers act accordingly. Rumor even said that once upon a time, a biawak (big lizard) was found strolling at the roadside; someone rode a jet ski on the highway, while a policeman was seen helping a Rolls Royce driver emptying water from inside of his car. There was even one time when I met a man carrying a fishing hook and a bucket, as if he was going to fishing-- in the middle of the highway! Whether he was a performance artist or one of those people taking advantage of the abrupt pause. At that moment I found Jakarta as a very funny city: humorous, romantic, and full of surprises.

So these artworks could only be enjoyed on foot and by careful search. In these searches, people will probably find little things of everyday life that might hold poetic value no less than these artworks. Perhaps, the whole works in this project are only fragments of a travel notes. But perhaps, just by knowing that there is something there, an artwork hidden in the urban jungle of Sudirman; the street looks different. There are subtle things easily lost from sight, momentary escapism, expectations and ordinary encounters that might be significantly or might be taken for granted. In the solitary walks of the private island of individuals, could it be only the tourists who are able to experience little surprises offered by the city or is everyone able to find it in the everyday life? Does the city need a poetry or only the practical things needed?

The dusk fell on the roadside of Sudirman and those questions are still lingering. We are waiting for someone, anyone, to stop for a moment at the Pause Room. We sat on an old wooden bench. Behind us, there are some street musicians who play various songs without stopping. In front of us, busy people passing by on their way home, Pasangan Baru are still trying to 'offer' their services to give a pause. Suddenly, the boisterous street sounds was replaced by the joy of motorcycle drivers who give applause to the crowded Kopaja striving to move the path at all costs. At that moment, time seems to slow down and it was as if we are sitting on the VIP seats in a theater by the street. In the middle of the wilderness of these strangers, we find a poetry-- so subtle it is easily missed. When we give this city a chance and a that pace of time to slow down a little, Jakarta with all its complication, turns out to be pretty poetic after all..

Mira Asriningtyas - December 2014



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


[i] Michel de Carteau, Spatial Stories, p.115 (essay in “The Practice of Everyday Life”, University of California Press, Berkeley, 1984)

[ii] Seno Gumira Ajidarma, essays in “Affair: Obrolan Tentang Jakarta” and “Kentut Kosmopolitan”.

[iii] Marco Kusumawijaya, Membayangkan Jakarta: Tiba-Tiba Malam, Tiba-Tiba Pagi…, p.153 (essay in “Kota Rumah Kita”, Borneo Publication, Jakarta, 2006)

[iv] Ardi Yunanto & Ninus D.Andarnuswari, Pengantar, p.6 (in “BERKAS: Terbitan Berkala Jakarta Biennale”, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2013)

[v] Rudolf Mrazek, Memory, Imagination, and Nation (a keynote speech presented on Equator Symposium 2014 as a part of Yogyakarta Biennale, Yogyakarta, November 2014)

[vi] Michel de Carteau, Walking in the City, p.93 (essay in “The Practice of Everyday Life”, University of California Press, Berkeley, 1984)

[vii] Maurice Merleau-Ponty, Space, p.283-347 (in “Phenomenology of Perception”, Routledge Classics, New York, 2002)

[viii] Pramoedya Ananta Toer, Ikan-Ikan yang Terdampar, p.16-44 (short story in “Cerita dari Jakarta: Kumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya”, Hasta Mitra, Jakarta, 2002)