Layar Senyap Gerak Sunyi

 










.Layar Senyap Gerak Sunyi.

*Bagian dari mini festival "Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan"


[Kedai Kebun Forum - Yogyakarta Indonesia]

19th - 23rd January 2022


Solo exhibition by Yosep Anggi Noen

Curated by Mira Asriningtyas

_____



“Tubuhnya: Novel Tebal Penuh Kata-Kata dalam Bab-Bab yang Selalu Penting”

 

‘Sejauh mana tubuh bisa menyampaikan hal-hal yang berlangsung dalam dirinya?’, adalah pertanyaan awal yang diajukan oleh Gunawan Maryanto (Mas Cindhil) di tahun 2000 saat memulai “Repertoar Hujan” atau “Tentang Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”. Selain itu, bagaimana menciptakan teater tanpa kata yang mendasarkan seluruh bentuk ucapannya pada tubuh semata?

 

Kurang dari dua puluh tahun setelah pertanyaan itu diajukannya, ia mewujudkannya dalam perannya yang paripurna di film “Istirahatlah Kata-Kata” maupun “The Science of Fictions”.

 

Dalam film “Istirahatlah Kata-Kata”, dari dalam tubuhnya terpancar ledakan tertahan. Ia tidak sedang mengerem seni perannya, namun melakukan eksplorasi atas dilema tubuh Wiji Thukul yang sebenarnya merupakan seseorang dengan gelora besar namun dipaksa tiarap saat menjadi target operasi negara. Ia seakan sedang berperan dalam tiga lapisan: sebagai Wiji Thukul yang sedang berperan sebagai Wiji Thukul yang geloranya ditekan dalam-dalam dan mencoba untuk tidak meledak. Hasilnya adalah penerjemahan karakter yang begitu kompleks dengan lepas dan matang. Dilema tubuh tersebut hadir dalam sorot mata, nada bicara, dan gestur terkecil sekalipun.

 

Dalam “The Science of Fictions”, ia tidak hanya bermain peran dengan mimik muka namun dengan seluruh tubuhnya, bahkan dalam ketiadaan kata-kata. Seluruh bentuk ucapannya didasarkan pada tubuh semata. Sutradara dua film tersebut, Yosep Anggi Noen, mengingatnya sebagai berikut:

 

“Mas Cindhil adalah seajaib-ajaibnya seorang aktor. Dia berhasil membuat tokoh Siman yang tidak masuk akal menjadi manusia utuh. Siman, tokoh fiktif yang bergerak pelan seperti astronot di angkasa nampak di film sangat alami; seperti tetangga yang aneh saja, nyata seperti saat kita buka jendela dan melihat seseorang sedang menyapu tidak lebih tidak kurang. Itulah keajaiban yang saya rasakan di depan layar monitor saat pengambilan gambar. Dia bergerak pelan, menatap tanpa bicara apapun, bersemangat saat bercerita dengan gerakan, dan tubuhnya itu benar-benar seperti novel tebal penuh kata-kata dalam bab-bab yang selalu penting.“

 

_____

 

Sebagai bagian dari festival “Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”, saya mengundang Anggi Noen untuk merayakan ketubuhan Mas Cindhil sebagai aktor dalam konteks teater di dalam sinema, kemudian menerjemahkannya dalam bentuk pameran seni rupa. Kolaborasi mereka diwujudkan dalam dua film layar lebar karya Anggi Noen dan untuk memamerkan potongan-potongan film tersebut, tentu saja dibutuhkan ijin dan kelapangan hati sang sutradara yang filmnya akan dicacah dan mengalami alih wahana.

 

Bagi Anggi Noen, pada prinsipnya filmmaking merupakan praktek panjang yang diawali dengan produk teknologi. Adanya narasi dan estetika visual yang berimbang menjadikan produk teknologi ini berubah menjadi medium pengalaman manusia yang bisa dinikmati dalam bentuk yang baru. Anggi Noen percaya bahwa ekstensi medium dan disiplin ini perlu dilestarikan oleh seniman film, sementara kebebasan untuk berkreasi dengan sinema ini lah yang akan menjaga dinamikanya.

 

Ini adalah kali pertama Anggi Noen melakukan alih wahana dari produk sinema yang telah menjadi konteks yang utuh; kembali ke bentuk teknis gambar tanpa narasi; sebelum kemudian dikontekstualisasi ulang dalam jalinan ruang dan waktu yang baru. Proses ini berkebalikan arah dari proses filmmaking: berjalan mundur dari produk jadi (film) ke potongan gambar yang parsial.

 

Dalam sudut pandang ini terdapat asumsi bahwa jika dilepaskan dari kemurniannya, sinema pun bisa dicacah (atau dalam bahasa Anggi Noen: ‘diecer’) dan dipresentasikan dalam elemen esensialnya yang berupa bentuk, gerakan, ritme, dan montage. Konteks-konteks lain seperti suara, lagu, dan warna sengaja dihilangkan untuk menyusun saling silang antara dunia tanpa kata-kata Siman si astronot dari Bantul yang murni fiksi dengan dunia Wiji Thukul di masa pelariannya yang berangkat dari kisah nyata.

 

Lanskap sosial-politik (dengan P besar) dan kompleksitas emosi kerap membentuk kerangka acuan representasi dalam deretan film Anggi Noen. Hal ini hanya muncul di pameran ini dalam sayup-sayup suara film “Istirahatlah Kata-Kata” yang diputar secara utuh di ruang sebelah. Sesekali siulan lagu Darah Juang dan puisi Wiji Thukul terdengar samar di latar belakang, di tengah deru suara kipas angin ruang pamer. Suara ini bisa didengarkan, bisa juga diabaikan.

 

Jika penonton belum pernah melihat film aslinya, pengalaman menonton pameran ini bisa disikapi serupa menyikapi potongan puisi karya Mas Cindhil yang ditulis ulang di sudut-sudut kota dan dibagikan secara daring dengan tagar #kataCindhil. Jika penonton pernah melihat film aslinya, pengalaman menonton pameran ini mungkin saja sedikit janggal, serupa pengalaman melihat teman yang berganti gaya rambut setelah lama tidak bertemu. Seperti melihat sesuatu yang berbeda dengan terakhir kali kita melihatnya – akrab, sekaligus begitu asing.

 

_____

 

Gigi palsu yang dihadirkan di awal perjalanan penonton ini bukan tanpa alasan. Dalam proses transformasinya ke tubuh yang lain, Mas Cindhil kerap bekerjasama dengan benda-benda mati: gigi palsu membantunya menghidupkan kembali sosok Wiji Thukul melalui puisi yang telah menubuh, sorot matanya, gerak geriknya, dan gaya bicara yang dalam namun menggetarkan; sedangkan lidah yang dimatikan, baju astronot, hingga kamera yang dipaksa bergerak lebih lambat dari biasanya membantunya menghidupkan tokoh Siman yang janggal. Bersama dengan benda-benda tersebut, bahkan di dalam senyap, tubuhnya menyampaikan hal-hal yang berlangsung di dalam dirinya dengan lantang dan jelas. Ia marah dengan seluruh tubuhnya, takut dengan seluruh tubuhnya, dan merasakan kelegaan, pun, dengan seluruh tubuhnya. Hal itu tentu saja hanya bisa dicapai oleh seseorang yang telah bertahun-tahun mendisiplinkan tubuhnya dalam sejarah eksplorasi yang panjang.

 

Anggi Noen sendiri dibesarkan dengan pengalaman visual menonton teater dengan berbagai variasi dan ketoprak Tobong yang menghadirkan pengalaman sinematik tersendiri. Dalam proses penciptaan dua film tersebut, ia kembali menyegarkan relasi antara film dan teater. Anggi Noen dengan mudah memberikan kebebasan kepada Mas Cindhil untuk mengajukan alternatif dan eksplorasi atas tubuhnya sebelum dipresentasikan di layar. Hal ini terkadang dilakukan dengan kejahilan-kejahilan yang entah tujuannya untuk menguji atau menghibur – yang satu ini, sayangnya, tidak lagi bisa dikonfirmasi.

 

Dalam pameran ini, ruang dan waktu dikontekstualisasikan ulang untuk menciptakan jalinan baru. Dimulai dengan dua gigi palsu kecil dengan penerangan yang sedikit mencolok mata, ke deretan televisi dalam tumpukan kursi, sebelum akhirnya dihadapkan dengan pengalaman menonton tumpukan gambar dalam dua channel layar besar yang imersif dan saling silang. Di ujung dalam ruangan, penonton kembali diajak menikmati gambar gerak samar yang diproyeksikan ke layar vertikal yang tidak berhenti bergerak, kemudian diakhiri dengan lamat-lamat foto yang terlalu gelap dan lampu gang yang ditarik langsung dari dalam salah satu scene di film.

 

Perihal hadirnya berbagai alternatif ukuran layar, arah gerakan, dan penyesuaian mata atas cahaya menjadi penting dalam menghadirkan pengalaman tubuh bagi penonton. Apabila setiap layar ditelusuri secara teliti isi gambarnya dan lepas dari konteks ceritanya, gerak tubuh di layar itu terbuka untuk diterjemahkan dalam makna baru. Parade bentuk dan komposisi adegan disusun sebagai bentuk repertoar yang lain. Bagaimanapun juga, setiap penonton memiliki referensi ketubuhan yang seragam maupun yang personal.

 

Salah satu alternatif cara lain menikmati pameran ini adalah dengan metode menikmati ‘teater mini kata’, sebuah format teater fisik non-linear dan tanpa narasi yang merupakan eksperimentasi WS Rendra di akhir tahun 1960-an. Tidak seperti teater konvensional atau film utuh yang erat dengan narasi dan sekuen yang selesai; karya-karya video Anggi Noen dalam pameran ini bergerak ke arah sebaliknya yang terlepas dari kerangka besar filmnya.

 

Apabila film diumpamakan sebuah novel tebal, potongan-potongan gambar ini adalah potongan kata-kata dalam bab-bab yang selalu penting itu. Apabila tubuh Mas Cindhil lah yang sebuah novel tebal penuh kata-kata, fragmen-fragmen gambar ini adalah kata-kata dalam bab-bab yang selalu penting tersebut. Kata-kata yang bisa dirangkai dalam bentuk prosa, atau puisi, atau dibiarkan hidup dalam makna yang saling terlepas. Kebebasan merangkainya ada di kepala setiap penonton, maka adegan film yang ‘diecer’ pun bisa diterjemahkan ulang sebagai bentuk teater tanpa kata yang mendasarkan seluruh bentuk ucapannya pada tubuh dan simbol-simbol yang muncul dalam versi tafsir sinematik.

 

Di akhir hari, kita mungkin akan mengingat sebagaimana Anggi Noen mengingatnya: “Dia bukan Siman, bukan Wiji Thukul, dia Gunawan Maryanto, aktor terbaik. Aktor terbaik.”

  

(Mira Asriningtyas)

________________


*Pameran ini merupakan bagian dari mini festival "Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan" untuk mengenang 100 hari meninggalnya Gunawan Maryanto (Cindhil atau Mas C atau Mas Gun). Pameran ini dibuka tepat di hari keseratus kepergian Gunawan Maryanto dengan menampilkan karya seniman yang pernah bekerja bersamanya dan atau terinsipirasi oleh karya-karyanya.