Adegan yang Hilang: 1982 – 1985









 ADEGAN YANG HILANG : 1982 – 1985

pameran tunggal oleh Arief Budiman

Kedai Kebun Forum, Yogyakarta

November 2019



Ini merupakan satu lagi kisah tentang ketakutan. Bagaimanapun juga, 32 tahun adalah waktu yang panjang untuk menceritakan tentang ketakutan yang berulang—sebuah metode yang terbukti efektif untuk melanggengkan kekuasaan. Permainan politik ketakutan mempengaruhi masyarakat melalui dorongan purba mekanisme pertahanan hidup. Masyarakat yang selalu berada dalam kondisi ketakutan mudah dikendalikan, gesekan sosial mudah dipicu, dan kebencian komunal mudah diarahkan oleh negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu.

Salah satu kisah terjadi pada tahun 1982-1985 ketika mayat-mayat dengan tangan terikat bermunculan di sudut pasar, gang-gang sempit area pemukiman warga, di dalam karung samping tempat sampah, di pinggir jalan raya, dan di dalam got-got berbau busuk. Kehadiran kelompok-kelompok yang disebut dengan gabungan anak liar alias ‘gali’ ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari relasi mereka terhadap pemerintah. Hubungan harmonis kerap terlihat diantara keduanya sebagai hubungan untung sama untung. Pembagian keuntungan ekonomi, perpanjangan tangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban, hingga alat untuk mengorganisir warga demi meraup suara dalam pemilu adalah beberapa bentuk relasi saling menguntungkan diantara mereka sekaligus sebagai kontrol pemerintah dan militer diantara warga. Beberapa kelompok ‘binaan’ bahkan mendapatkan restu khusus dari para elit pemegang kekuasaan.

Ketika politik berbalik arah, mereka yang pernah turut berperan melanggengkan kekuasaan kemudian dilihat sebagai ancaman. Bagaimanapun juga, operasi ini dimulai tak lama setelah kerusuhan Lapangan Banteng tahun 1982. Kelompok yang dijadikan alat oleh pemerintah untuk melakukan kampanye hitam terhadap oposan mereka ini lah salah satu target yang perlahan-lahan dihabisi dengan dalih melakukan penertiban, menekan angka kriminalitas, dan mengurangi keresahan warga. Untuk menghadirkan bentuk nyata dari keamanan dan ketertiban ini, tak jarang pemerintah akan terlebih dahulu mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Saat itu, tanpa malu-malu, ruang publik digunakan untuk memajang monumen keberhasilan pemerintah dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Bahkan peletakan mayat di area yang mudah disaksikan banyak orang ini merupakan strategi penting dalam usaha melakukan shock therapy. Dengan sadar mereka menaruh mayat-mayat para oposan dengan luka tembakan di jalanan untuk membuat jera sekaligus memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan mereka atas warga secara umum serta ruang hidupnya.

Dalam pameran tunggalnya, Arief Budiman mencoba menyatukan kepingan sejarah kekerasan yang berlangsung pada kisaran tahun 1982-1985 tersebut. Kepingan-kepingan ini mencoba memperlihatkan absennya beberapa cerita yang cenderung tidak dibicarakan terkait peristiwa tersebut. Ketika bahasa-bahasa yang umum dan kaku terbilang kurang berhasil mendekatkan sejarah kelam bangsa yang sudah berjarak kurang lebih 35 tahun ini kepada generasi saat ini, bahasa-bahasa rekam gambar yang dipilih oleh Arif untuk mendekatkan pada konteks budaya visual keseharian masa kini tanpa mengurangi konteks sejarah dan politik dari peristiwa tersebut.

(LIR - Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)
_____


[id]

Tentang Lir x KKF 2019

Suatu pagi lima puluh tahun yang lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dimasukkan ke dalam sungai Brantas. Bendera partai dipasang di atas tubuh tanpa kepala: teror dan pesan kematian bagi sebagian orang. Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian menjadi tonggak sejarah yang dramatis, pengingat yang gamblang bagi siapa saja yang menentang kekuatan baru. Warga sekitar sungai berhenti makan ikan sejak rumor ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lainnya di tubuh ikan.

Tujuh belas tahun telah berlalu sejak rakit mayat dibubarkan, mayat baru ditemukan dengan luka tembak di pinggir gang kota, di hutan sepi, di karung dekat tempat sampah. Preman dan kelompok gali yang digunakan sebagai instrumen kekuatan untuk menyebarkan teror dan ketakutan diberantas. Hubungan yang semula hanya bisnis berkembang menjadi alat bagi negara untuk memamerkan kekuatannya dengan alasan menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan tindakan tegas.

Beberapa saat setelah rezim jatuh, ketakutan yang dulunya alat untuk mempertahankan kekuasaan kini menjadi area bisnis baru. Warga membangun pagar tinggi di sekitar rumah dan pintu masuk, developer membuat ruang aman dengan satu pintu utama di bawah pengawasan ketat, satpam memeriksa kartu identitas tamu, gerbang terkunci rapat dalam gelap, kecurigaan terhadap orang yang bukan penduduk setempat meningkat. Semakin tinggi harga yang siap dibayar, semakin tinggi jaminan bagi mereka yang trauma komunitasnya berkurang. Dua puluh tahun kemudian, pagar ini tetap menjadi monumen ketakutan yang hampir kehilangan akarnya. Ruang memori jangka panjang membentuk bahasa visual suatu tempat dan menjadikannya pemandangan sehari-hari. Namun, ingatan adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berubah dengan setiap perubahan daya.

Permainan politik ketakutan, atau ketakutan, mempengaruhi masyarakat melalui dorongan kuno untuk mekanisme bertahan hidup. Orang yang selalu dalam keadaan ketakutan mudah dikendalikan, gesekan sosial mudah terpicu, dan kebencian komunal dengan mudah diarahkan oleh negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu. Teror diperkuat dengan rumor dan cerita. Cerita berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk menormalkan trauma masa lalu. Kekuasaan menggunakan gelombang ketakutan ini untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam pameran tunggal seri LIR x KKF 2019 ini, LIR mengundang tiga seniman muda untuk mempresentasikan respon mereka terhadap teror dan trauma kolektif pada masa kebangkitan Orde Baru, ketika keresahan masyarakat meningkat dan kepercayaan perlu dipulihkan, dan pada saat jatuhnya rezim. Narasi seri ini berjalan mundur dan menghadirkan ketakutan dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang berbicara tentang bisnis ketakutan pasca 1998; Arief Budiman yang bercerita tentang adegan yang hilang dari tahun 1982 - 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar tahun 1965.

_____

[en]

LIR x KKF (2019)

One morning fifty years ago, a wooden raft containing a pile of corpses washed away in the Brantas river.  A communist party's flag is planted on the headless bodies: a terror and message of death for some people.  What happened a few months later became a dramatic milestone, a stark reminder to anyone who opposes the new regime.  Residents around the river stopped eating fish since rumors spread: the discovery of fingers or pieces of other human bodies inside the fish.

Seventeen years have passed since the raft of corpses drifted, new bodies were found with gunshot wounds on the edge of an urban alley, in a deserted forest, in a sack near trash dump.  Thug and gangster that once used as instruments of power to spread terror and fear were eradicated.  The relationship that was originally just a business developed into a tool for the state to show-off its power for the reason of maintaining order, security, and providing protection for people with decisive action.

Not long after the regime fell, the fear that was once a tool to maintain power becomes a new business field.  Residents build high fences around the house and entrance, developers create a safe space with one gate system under close supervision, security guards check guest identity cards, gates are locked tightly in the night, suspicion of people who are not local resident increases.  The higher the price tag, the more sophisticated securities will be provided for those with generational community trauma.  Twenty years later, these fences remain as monuments of fear that almost lost their roots.  It becomes a memory space that slowly shapes visual language over a place and makes it an ordinary day-to-day sight.  However, memory is contestation.  Collective memory will continue to change each time the power change.

The political game of fear or scaremongering influences society through an ancient urge of survival mechanisms.  People who always in a state of fear are easily controlled, social friction is easily triggered, and communal hatred is easily directed by the state to respond targets with certain identities.  Terror is reinforced with rumors and stories.  Stories develop into myths and ghost tales to normalize past trauma.  Power uses this wave of fear to gain and maintain power.
In this solo exhibition series LIR x KKF, we invite three young artists to present their response to terror and collective trauma during the rise of the New Order, when public become restless and trust needed to be restored once again, and at the fall of the regime.  The narrative of this series goes backwards and presents fear in three variations of solo exhibition: Edita Atmaja who talks about the business of post-1998 fear;  Arief Budiman, who talked about missing scenes from 1982 - 1985;  and Adi Sundoro about the fear of eating fish around 1965.