Dalam Tiga Babak










DALAM TIGA BABAK

pameran tunggal oleh Alfin Agnuba

Kedai Kebun Forum Yogyakrta

Oktober 2018


Kisah-Kisah (Dalam Tiga Babak)

Suatu siang di tahun 1998, seorang anak kecil menyambar selembar kertas dari tangan ayahnya yang sedang berbisik-bisik serius dengan pria tak dikenal di sebuah trotoar penuh orang lalu lalang. Kertas tanpa tulisan bergambar dua babi yang terlihat menarik bagi seorang anak berusia 8 tahun. Ia kemudian mulai mengikuti alur lipatan kertas tersebut dan menemukan gambar dua babi berganti muka presiden. Sebelum anak itu sempat meneriakkan kekagetannya, sang ayah buru-buru mengambil kertas dari tangannya dan mengucap salam kepada pria tak dikenal yang kemudian melanjutkan perjalanannya sambil membagikan kertas terlipat rapi dan membisikkan propaganda kepada penjual oleh-oleh lain sepanjang trotoar Malioboro. Sebelum kejadian singkat itu, anak kecil itu mulai memperhatikan bagaimana lauk makannya berganti dari ayam menjadi tempe, acara menonton kartun sepulang sekolah digantikan saluran berita yang terus menerus dilihat ayahnya sepulang kerja, dan barang jualan orangtua yang berganti dari perak murni menjadi monel dan besi yang lebih murah. Ketika tidak sedang ikut ayahnya berjualan, ia biasanya dititipkan tetangga pembuat bendera dan atribut pawai berwarna hijau. Sesekali, ia diperbolehkan ikut keseruan rombongan kerumunan orang berbaju hijau yang menuntut perubahan bersama ayah ibunya. Di lain waktu, sekelompok anak muda berkumpul di dekat kios ayahnya, membagikan kertas dan berorasi sebelum bersama-sama berjalan ke arah kantor pemerintahan di ujung jalan. Sementara semua itu terjadi, anak kecil itu jatuh hati pada medium kertas. Ia sudah sering ikut menggambar bersama seniman-seniman jalanan di Malioboro saat ikut orangtuanya berjualan; namun ketika melihat perubahan air muka ayahnya, percakapan pelan tertahan antara dua pria dewasa saat kertas diberikan diam-diam, dan gambar yang berubah ketika dilipat itu lah sebuah kesan tertanam di kepalanya sebagai kekuatan berbahaya yang tersembunyi di selembar kertas.

Beberapa tahun kemudian, ia menemukan kisah lain: di tahun 1966 - 1967 terjadi PHK masal di sebuah stasiun tua yang berjarak selemparan batu dari rumahnya. Pemutihan itu dilakukan dengan sistematis: para petugas dikumpulkan di sebuah aula, diperiksa satu per satu tanpa berita acara, dan barang siapa yang memiliki hobi berkesenian atau menyimpan kalender dan barang-barang sepele lain yang berbau komunisme akan langsung dipangkas dari pekerjaannya. Kebanyakan dari pekerja ini mendapatkan benda-benda itu di jalan, diberikan oleh orang tak dikenal dan diterima tanpa tahu apa-apa. Benda-benda itu kemudian dijadikan barang bukti dan tanpa peradilan, orang-orang ini kehilangan pekerjaannya. Di waktu yang sama, perjanjian hutang negara ditandatangani dan kerjasama luar negeri mulai berjalan. Enam tahun kemudian, jalur angkutan umum dari desa ke kota dari stasiun itu ditutup. Tak lama kemudian, muncul mobil angkutan desa dengan merek dagang tunggal, menggantikan jalur-jalur tujuan kereta yang berhenti beroperasi. Ketika mendengar cerita ini dari seorang temannya (seorang bapak tua penjaga stasiun kereta), si anak kecil yang melipat gambar babi menjadi muka presiden itu telah menjadi seorang pria dewasa yang baru saja lulus kuliah dan memikirkan berbagai skenario di dalam kepalanya atas apa yang mungkin terjadi hingga menyebabkan stasiun itu berhenti beroperasi. Entah karena adanya pemutihan pegawai, fasilitas stasiun yang tidak layak karena pemotongan dana perawatan, atau sebagai hasil lanjutan pencairan hutang yang sistematis.

Kecintaannya pada kertas berlanjut hingga dewasa— Alfin Agnuba kemudian memilih untuk menempuh pendidikan seni grafis. Di ujung akhir pendidikannya, seiring dengan ketertarikannya pada kisah-kisah, ia mulai mempertanyakan sejarah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang menurut dia seakan dikesampingkan dari pelajaran di kelas. GSRBI merupakan sebuah gelombang perubahan dalam dunia seni rupa Indonesia yang muncul pada awal tahun 70an sebagai respon atas kejenuhan seniman muda pada masa itu atas konsepsi seni rupa Indonesia yang seakan dibangun seragam. Kegelisahan Alfin membawanya untuk mencari tahu lebih banyak tentang GSRBI dan percaya bahwa masalah-masalah sosial yang aktual, meskipun lebih penting dari sentimen pribadi seorang seniman, namun bisa saja disajikan bersama-sama. Begitu pula dengan sejarah pergerakan yang lekat dengan kisah hidup orang-orang di sekitarnya.

Sebuah Pameran (Dalam Tiga Babak)

Tiga kisah di atas berangkat dari hal-hal yang paling dekat dengan diri Alfin: kisah keluarganya di ujung akhir rezim Orde Baru, pergantian moda transportasi di daerahnya ketika rezim itu dimulai, dan kegelisahan Alfin sebagai seniman muda atas salah satu gerakan penting dalam sejarah seni rupa yang digawangi oleh seniman-seniman yang saat itu sebaya dengannya saat ini. Tiga kisah ini tersaji dalam tiga babak performans yang dibawakan oleh seorang pencerita untuk mendampingi Alfin ketika ia mencetak karya grafisnya secara langsung di malam pembukaan. Kedekatan personalnya dengan kisah-kisah ini membuatnya memilih tiga pendekatan domestik dalam eksperimen proses cetak: ‘menyetrika’, ‘mencuci’, dan ‘memasak’. Pada babak pertama, ia melakukan cetak panas dengan kertas perak dan merangkai satu per satu kisah pertemuan ayahnya dengan seorang aktivis yang pertama kali membuatnya jatuh hati pada medium kertas. Pada babak kedua, dugaan-dugaannya atas berhenti beroperasinya stasiun Winongo digambarkan ulang dalam sistem SDSB, sebentuk judi yang dihalalkan negara di bawah kementrian sosial pada era Orde Baru. Selama pameran berlangsung, pengunjung bebas membeli kertas di dinding, mencabutnya, dan mencelupkannya ke dalam wadah air yang sudah disediakan untuk melihat gambar mana dari 12 narasi sejarah itu yang akan muncul. Seperti perjudian pada umumnya, pengunjung yang tidak beruntung bisa saja mencabut kertas kosong. Pada babak ketiga, Alfin memindahan medium sablon dari kertas ke pangsit untuk menyajikan ide-ide dasar, pola pikir, lima jurus gerakan seni rupa baru, dan kutipan dari para tokoh GSRBI. Hal ini dilakukan sebagai usahanya untuk membagi intisari pengetahuan atas GSRBI kepada teman-temannya. Dengan sentuhan humor seperti yang kerap digulirkan tentang membakar buku, menyeduh abunya untuk menjadi teh, dan meminumnya supaya pandai; Alfin menyarankan supaya hidangan ini dimakan segera supaya pengunjung memiliki pengetahuan instan atas ide-ide GSRBI. Selama pameran berlangsung, tiga babak performans dan kisah dalam tiap-tiap karya ini hadir dalam video pendamping karya grafis eksperimental. Sejarah dan kegelisahan personal yang tersaji dalam tiga babak.

(LIR - Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)