Bualan Ikan: Narasi-Narasi yang Terseret Arus







 BUALAN IKAN: NARASI-NARASI YANG TERSERET ARUS

pameran tunggal oleh Adi “Asun” Sundoro

Kedai Kebun Forum, Yogyakarta

November 2019


Belakangan ini warga Indonesia terpapar dengan berbagai potensi industri kelautan yang seharusnya telah menjadi salah satu sumber pendapatan bangsa sejak beberapa periode pemerintahan berganti. Terpusatnya perhatian masyarakat pada kehidupan yang berada di daratan, serta kemampuan pemerintah pada periode-periode sebelumnya dalam memunculkan kebijakan yang seolah mengesampingkan potensi yang tersimpan di wilayah perairan Indonesia ini membuat warga perlahan lupa atas apa yang mungkin sejak dulu dimilikinya. Jauh sebelum perilaku koruptif dalam menutupi potensi industri kelautan yang dimiliki bangsa ini, pemerintah pernah dan masih menutupi sebuah cerita lain tentang ikan-ikan di sungai maupun di laut. Ikan-ikan yang menjadi pengingat sebuah peristiwa kekerasan yang pada masanya menimbulkan ketakutan massal. 

Pada suatu pagi lima puluh tahun yang lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dilarungkan di sungai Brantas. Tertancap bendera partai terlarang di atas tubuh-tubuh tak berkepala: sebuah teror dan pesan kematian bagi sebagian orang. Yang terjadi berikutnya menjadi tonggak sejarah yang dramatis, sebuah peringatan tegas bagi siapapun yang menentang kekuasaan baru ini. Di berbagai tempat, air sungai dan laut berubah merah dengan aroma anyir dan tubuh-tubuh membusuk yang terseret arus. Sementara itu, warga sekitar sungai dan laut berhenti makan ikan sejak tersebar desas-desus ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lain di dalam perut ikan. 

Sebagaimana bualan ikan yang berlebihan, teror itu sejak awal dibumbui dengan rumor dan kisah-kisah. Konon katanya, partai komunis memiliki daftar orang yang akan dibunuh lengkap dengan kuburan masal dan alat pencukil mata. Konon katanya, anak-anak akan diculik dan dididik ulang seperti yang terjadi di negara komunis lain. Dan konon katanya, jika tidak membunuh—kamu akan terbunuh. Kebencian dan ketakutan terbangun sehingga menciptakan suasana yang makin mencekam. Tintrim, sebelum histeria massal dimulai dan gelombang ketakutan ini digunakan untuk meraih kekuasaan pemerintah yang baru.

Pembantaian besar-besaran ini terjadi karena dua hal: sebagai konsekuensi dari konflik horizontal karena masalah agraria di pedesaan bersamaan dengan agitasi masyarakat akibat krisis moneter; kedua, kejahatan terstruktur dari negara dan perintah pemberantasan partai komunis hingga ke akar-akarnya. Sebagaimana desas-desus yang tidak pernah jelas di awal, angka jumlah korban pun tidak pernah terhitung dengan pasti. Meskipun demikian, statistika adalah hal dingin yang menjadikan manusia angka dan hitungan. Jejak trauma dan perasaan bersalah turun temurun yang menyertai tidak terhitung di dalamnya.

Bertahun-tahun setelah pembantaian besar-besaran itu terjadi, perasaan ini berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk menormalisasi trauma masa lalu dari kedua belah pihak. Dari dalam gua terdengar jeritan meminta tolong, derap langkah rapi terdengar bersamaan dengan penampakan orang berbaris tanpa kepala di hutan-hutan, dan hantu-hantu penasaran bergentayangan di atas jembatan. Masyarakat tidak berani mendekati tempat-tempat angker ini dan tidak berani membicarakan apa yang terjadi sebelumnya. Narasi yang seragam terus diulang. Butuh kampanye bertahun-tahun supaya masyarakat tidak lagi takut makan ikan. Berangsur-angsur narasi atas sejarah, trauma, dan hal-hal lainnya pun ikut terlupakan—terseret arus hingga jauh tersembunyi di dasar laut dan sesekali mewujud sebagai hantu-hantu masa lalu.


(LIR - Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)
_____________


[id]

Tentang Lir x KKF (2019)

Suatu pagi lima puluh tahun yang lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dimasukkan ke dalam sungai Brantas. Bendera partai dipasang di atas tubuh tanpa kepala: teror dan pesan kematian bagi sebagian orang. Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian menjadi tonggak sejarah yang dramatis, pengingat yang gamblang bagi siapa saja yang menentang kekuatan baru. Warga sekitar sungai berhenti makan ikan sejak rumor ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lainnya di tubuh ikan.


Tujuh belas tahun telah berlalu sejak rakit mayat dibubarkan, mayat baru ditemukan dengan luka tembak di pinggir gang kota, di hutan sepi, di karung dekat tempat sampah. Preman dan kelompok gali yang digunakan sebagai instrumen kekuatan untuk menyebarkan teror dan ketakutan diberantas. Hubungan yang semula hanya bisnis berkembang menjadi alat bagi negara untuk memamerkan kekuatannya dengan alasan menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan tindakan tegas.


Beberapa saat setelah rezim jatuh, ketakutan yang dulunya alat untuk mempertahankan kekuasaan kini menjadi area bisnis baru. Warga membangun pagar tinggi di sekitar rumah dan pintu masuk, developer membuat ruang aman dengan satu pintu utama di bawah pengawasan ketat, satpam memeriksa kartu identitas tamu, gerbang terkunci rapat dalam gelap, kecurigaan terhadap orang yang bukan penduduk setempat meningkat. Semakin tinggi harga yang siap dibayar, semakin tinggi jaminan bagi mereka yang trauma komunitasnya berkurang. Dua puluh tahun kemudian, pagar ini tetap menjadi monumen ketakutan yang hampir kehilangan akarnya. Ruang memori jangka panjang membentuk bahasa visual suatu tempat dan menjadikannya pemandangan sehari-hari. Namun, ingatan adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berubah dengan setiap perubahan daya.


Permainan politik ketakutan, atau ketakutan, mempengaruhi masyarakat melalui dorongan kuno untuk mekanisme bertahan hidup. Orang yang selalu dalam keadaan ketakutan mudah dikendalikan, gesekan sosial mudah terpicu, dan kebencian komunal dengan mudah diarahkan oleh negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu. Teror diperkuat dengan rumor dan cerita. Cerita berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk menormalkan trauma masa lalu. Kekuasaan menggunakan gelombang ketakutan ini untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.


Dalam pameran tunggal seri LIR x KKF (2019) ini, LIR mengundang tiga seniman muda untuk mempresentasikan respon mereka terhadap teror dan trauma kolektif pada masa kebangkitan Orde Baru, ketika keresahan masyarakat meningkat dan kepercayaan perlu dipulihkan, dan pada saat jatuhnya rezim. Narasi seri ini berjalan mundur dan menghadirkan ketakutan dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang berbicara tentang bisnis ketakutan pasca 1998; Arief Budiman yang bercerita tentang adegan yang hilang dari tahun 1982 - 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar tahun 1965.

_____

[en]

LIR x KKF (2019)

One morning fifty years ago, a wooden raft containing a pile of corpses washed away in the Brantas river.  A communist party's flag is planted on the headless bodies: a terror and message of death for some people.  What happened a few months later became a dramatic milestone, a stark reminder to anyone who opposes the new regime.  Residents around the river stopped eating fish since rumors spread: the discovery of fingers or pieces of other human bodies inside the fish.

Seventeen years have passed since the raft of corpses drifted, new bodies were found with gunshot wounds on the edge of an urban alley, in a deserted forest, in a sack near trash dump.  Thug and gangster that once used as instruments of power to spread terror and fear were eradicated.  The relationship that was originally just a business developed into a tool for the state to show-off its power for the reason of maintaining order, security, and providing protection for people with decisive action.

Not long after the regime fell, the fear that was once a tool to maintain power becomes a new business field.  Residents build high fences around the house and entrance, developers create a safe space with one gate system under close supervision, security guards check guest identity cards, gates are locked tightly in the night, suspicion of people who are not local resident increases.  The higher the price tag, the more sophisticated securities will be provided for those with generational community trauma.  Twenty years later, these fences remain as monuments of fear that almost lost their roots.  It becomes a memory space that slowly shapes visual language over a place and makes it an ordinary day-to-day sight.  However, memory is contestation.  Collective memory will continue to change each time the power change.

The political game of fear or scaremongering influences society through an ancient urge of survival mechanisms.  People who always in a state of fear are easily controlled, social friction is easily triggered, and communal hatred is easily directed by the state to respond targets with certain identities.  Terror is reinforced with rumors and stories.  Stories develop into myths and ghost tales to normalize past trauma.  Power uses this wave of fear to gain and maintain power.
In this solo exhibition series LIR x KKF, we invite three young artists to present their response to terror and collective trauma during the rise of the New Order, when public become restless and trust needed to be restored once again, and at the fall of the regime.  The narrative of this series goes backwards and presents fear in three variations of solo exhibition: Edita Atmaja who talks about the business of post-1998 fear;  Arief Budiman, who talked about missing scenes from 1982 - 1985;  and Adi Sundoro about the fear of eating fish around 1965.