Loci Memoriae







LOCI MEMORIAE

pameran tunggal oleh Kurniadi Widodo

Kedai Kebun Forum, Yogyakarta

September - Oktober 2018

_____



“Memory had a fundamentally spatial quality. The memorizer created vivid mental images and then placed them within familiar loci memoriae or memory places, such as the room of a house, the placing at a dining table, or different parts of theatre.” (Joe Moran, “Houses, Habit, and Memory”, p.40)



I. 

Suara pemilik rumah yang mempersilahkan kami memasuki ruangan mengiringi perpindahan antar ruang yang kami alami dari teras rumah ke ruang tamunya. Ruang tamu di rumah ini cukup lapang, menyatu dengan ruang keluarga. Dari pintu masuk, sebuah meja kecil tampak dikelilingi kursi yang disiapkan untuk tamu duduk bersama pemilik rumah. Di meja kecil ini, beberapa album foto bertumpuk agak tidak teratur. Beberapa dari mereka terlihat lusuh seiring waktu, yang lain terlihat cukup baru. Di ujung terjauh pintu masuk, televisi dan sofa serasa sering digunakan pemilik rumah untuk menghabiskan waktu. Di dinding, beberapa foto dipajang dalam bingkai kayu sederhana.

Terkadang, memasuki sebuah rumah terasa seperti menjelajahi ingatan seseorang. Kenangan diatur sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pemiliknya, serta bagaimana pemilik rumah menata ingatannya dalam foto-foto yang bertebaran di dalamnya. Tidak hanya rapi, tapi bisa ditampilkan secara berurutan cerita yang mungkin hanya diketahui oleh pemilik rumah. Diatur sesuai dengan keinginan mereka untuk mengingat dan kemudian memberi tahu setiap tamu: perjalanan yang tak terlupakan, tempat-tempat yang pernah dikunjungi, dan penanda keberadaan terpilih lainnya di antara tumpukan pengalaman yang dengan cepat digantikan oleh pengalaman yang lebih baru.

Di sisi lain, foto yang disimpan di album foto terasa lebih intim. Album-album ini diperbolehkan untuk dieksplorasi, tetapi bentuk pribadinya tampaknya menyiratkan keintiman yang lebih aman daripada foto-foto di dinding. Ketika apa yang disajikan di dinding berbicara tentang momen, ruang, atau tempat istimewa, album adalah tempat untuk foto yang lebih pribadi dan sehari-hari. Orang-orang di album foto adalah mereka yang telah hadir, baik dalam waktu singkat maupun lama. Foto-foto ini, sekali lagi, disusun dalam pengaturan yang mungkin tidak benar-benar dipahami oleh semua orang. Bisa jadi foto-foto tersebut disusun dalam urutan waktu linier, atau disusun dalam susunan yang bertolak dari peristiwa tertentu atau bisa juga dipusatkan pada gambar khusus. Terkadang, foto-foto ini juga diatur hanya berdasarkan waktu pencetakan foto yang sama: praktis.

II.

Menjelajahi foto-foto Kurniadi Widodo terkadang terasa seperti menjelajahi lanskap kenangan yang utuh dan bercampur. Di antara kejanggalan yang dilihat satu sama lain, semua kenangan tertata rapi sesuai kebutuhan pemiliknya. Sebagai pengingat yang baik, dia meletakkan foto-foto dalam koleksi yang hanya dia pahami. Begitu dia ingin mengambilnya, dia tahu ruang mana dalam ingatannya yang harus dia tuju.

Saat pertama kali menelusuri foto-foto Kurniadi Widodo, pemandangan alamnya menjadi sesuatu yang cukup mendominasi, dengan keindahan yang kerap terasa janggal namun puitis. Bentang alam tidak lagi menjadi tujuan perjalanannya tetapi merupakan tempat yang terselip di antara perjalanan yang dia lakukan. Sesuatu yang berada dalam kecepatan laju perjalanan sering kali terabaikan, dan bahkan tidak terlihat oleh orang lain. Foto-foto ini kemudian menjadi catatan penting antara kecepatan dan waktu yang seringkali tanpa disadari membuat semua kenangan tertinggal di belakangnya. Tertinggal, tertumpuk oleh peristiwa baru (kenangan), lalu dilupakan.

Kebiasaannya memperhatikan detail pada ruang-ruang aneh juga dilakukan di ruang tamunya. Kedekatan pribadi dengan rumah tidak membuatnya kehilangan keajaiban. Adapun dalam upayanya mengingat kembali hubungannya dengan ayahnya, ia memilih melihatnya melalui tanaman yang ada di rumahnya. Tanaman menjadi pecahan aneh dari lanskap ruang hidupnya.

Sebagai upaya untuk mengingat, ia memilih untuk memperlambat dan melihat kembali hal-hal terdekat yang terkadang terlewatkan. Dia melihat kembali ke rumah sebagai lanskap peristiwa dan kenangan ayahnya. Foto-foto lusuh, cerita yang tak pernah diceritakan, hingga koreografi gerak-gerik sang ayah saat berada di dalam rumah, yang lantas selalu mengingatkannya pada rutinitas dan sikap terakhir interaksinya dengan sang ayah saat menyiram tanaman. Dalam hal ini, mungkin melambat tidak hanya untuk menyelesaikan tetapi juga untuk menyelesaikan sebelum kecepatan waktu menenggelamkan semua keinginan dan ingatannya tentang sosok ayahnya.

Di antara kecepatan yang diperlambat memberi kesempatan untuk diingat, ada juga hal-hal yang tidak mungkin diperlambat bahkan tidak dapat diingat. Kecepatan semacam ini tidak memberi ruang untuk berimajinasi, membiarkan apa yang terserap, lewat, dan menumpuk di salah satu sudut ingatan untuk kemudian dilupakan. Bahkan dalam situasi seperti ini, Wid sengaja mencoba merekamnya sebelum dalam hitungan detik digantikan oleh yang lain. Kecepatan pergantian tayangan televisi yang dibayangkan sebagai bagian dari kecepatan penyebaran informasi diperlambat dengan menghentikannya dalam bentuk gambar diam. Dibandingkan dengan seseorang yang tersihir di depan kecepatan pergantian televisi atau derasnya informasi di surat kabar harian, ia memilih untuk memberikan dirinya kesempatan untuk mengingatnya dalam keadaan temporal. Dalam hal-hal yang diciptakan seaneh, sedingin dan secepat itu, ia terus berusaha memberi ruang antara bentang alam ingatannya yang telah ia susun sedemikian rupa sehingga ia menoleh ke belakang saat ia menginginkan dan membutuhkannya.

(LIR - Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)