Water Resistance (2024)

 














Water Resistance
Pameran Tunggal Ade Darmawan
Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat
27 Juni–03 Agustus 2024
ROH Projects
7 Juli–04 Agustus 2024


Melalui setiap pameran, ia membawa penonton untuk mengalami penelitian artistiknya, memprovokasi indra sambil menenggelamkan audiens dalam alur pikirannya, yang secara bersamaan terwujud dalam bentuk yang puitis namun mudah didekati. Seringkali, setiap pameran saling terkait satu sama lain karena tema itu sendiri dianggap sebagai cabang yang saling berhubungan. Pameran Water Resistance menjadi penanda tahap baru ini, yang menggunakan buku Arus Balik (1995) karya Pramoedya Ananta Toer sebagai titik awal untuk menyelami lebih dalam hubungan antara produksi dan konsumsi manusia.

Novel ini mengkaji budaya maritim historis Indonesia pada abad ke-16. Ade Darmawan menggambarkan transisi dari budaya maritim ke darat, khususnya berfokus pada pertanian dan perkebunan melalui indra dan pengalaman olfaktori. Berbeda dengan pameran solo sebelumnya yang terutama berpusat pada penelitian terkait rezim Orde Baru, Water Resistance berakar pada tahap awal monopoli perdagangan oleh entitas Barat melalui jalur laut, dimulai oleh Portugis, dan kemudian diambil alih oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Aktivitas perdagangan ini mengakibatkan penurunan sejumlah pelabuhan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan akhirnya menyebabkan diabaikannya budaya maritim Indonesia.

Meski buku Arus Balik itu sendiri merupakan buku fiksi, namun ketelitian Pramoedya Ananta Toer mampu menghadirkan deretan fakta, dan detail peristiwa serta lanskap Tuban, sebuah kota pelabuhan kosmopolit pada masanya yang terletak di pesisir pantai utara Jawa Timur. Detail-detail fakta maupun penggambaran lanskap tersebut kemudian dibaca ulang, dan diterjemahkan oleh Ade Darmawan melalui karya berjudul “Tuban”. Berbagai sumber daya alam yang tercatat dalam buku tersebut sebagai komoditas perdagangan hadir di atas meja putih, di dalam tabung-tabung kaca yang sedang mengalami proses distilasi. Di sisi bagian lain dari meja tersebut, batu, batu kapur yang melebur, dan garam menjadi potongan-potongan lanskap yang mempertegas bentuk fisik dan geografi kota tersebut. 

Ade Darmawan secara perlahan membuka hubungan-hubungan yang subtil atas sejarah peralihan kebudayaan yang terjadi pada abad 16 ini dengan peralihan kebudayaan di masa Orde Baru. Masih di atas meja yang sama, buku-buku propaganda yang hadir dalam berbagai bentuk otobiografi “Bapak Pembangunan” diletakkan tepat di bawah tabung-tabung distilasi, tepat di mana tabung-tabung tersebut meneteskan air. Ade melihat keterhubungan kedua zaman peralihan ini terkait replikasi praktik yang ekstraktif terhadap sumber daya alam. Buku-buku otobiografi yang hadir kemudian perlahan dihancurkan oleh tetesan-tetesan air dan aroma wangi yang menyertainya. Selain hadir dalam bentuk buku-buku, kehadiran Orde Baru muncul pada seri karya lainnya dalam bentuk barel-barel minyak bertuliskan Pertamina serta mesin mobil produksi Jepang. Benda-benda ini kemudian dibaca sebagai penanda zaman peralihan Orde Baru terkait gagasan produksi-konsumsi, dari kemandirian yang muncul saat awal kemerdekaan dan Orde Lama, menjadi gagasan modern dan global malah merujuk pada konsumsi produk secara masif pasca ‘66.  

Metodologi artistik Darmawan adalah perpaduan mulus antara material industri dan domestik siap pakai dengan komponen tak berwujud seperti aroma, menciptakan representasi puitis dari hubungan ekstraktif manusia dengan alam. Sisa-sisa olfaktori, hasil distilasi sumber daya alam, bertahan sebagai peninggalan abadi dari masa lalu, memicu respons sensoris yang menjadi pusat perhatian di saat tidak adanya artefak fisik dari warisan maritim. Aroma menjadi pilihan bentuk yang menarik karena secara tepat dan sederhana menggambarkan keterlupaan kita secara umum terhadap sejarah maritim Indonesia. Ia mewakili ketiadaan wujud yang hanya dapat dirasakan dalam waktu yang relatif singkat atau dalam kesementaraan. Bentuk artistik dan puitis ini, didorong oleh keterlibatan sensoris yang mendalam yang dialami selama proses penelitian, membangkitkan rasa kagum dan apresiasi pada audiens.

Setelah menghadiri beberapa pameran solo Ade, kami sangat terkesan dengan kedalaman dan ketelitian penelitiannya, mencakup literatur dan eksplorasi di lokasi, dan bagaimana hal itu diterjemahkan ke dalam ekspresi artistik yang mendalam dan puitis. Untuk mempersiapkan seri pameran ini, Ade Darmawan secara khusus melakukan riset langsung di kota Tuban beberapa kali sejak pertama kali ia memulai seri karya “Tuban” pada tahun 2018 lalu. Ia menilai keberadaan tubuhnya secara langsung di lokasi menjadi penting karena ketiadaan jarak antara tubuh dan ruang atau situsnya memberikan beragam pengetahuan, perasaan, dan pengalaman sensoris, yang ia sadari akan mempengaruhi keputusan-keputusan artistiknya.

Water Resistance menandai fase baru dalam perjalanan artistik Ade setelah jeda 12 tahun dari pameran solo di Indonesia. Pameran tunggal ini diadakan secara bersamaan di dua tempat: Cemeti- Institut untuk Seni dan Masyarakat di Yogyakarta dan ROH di Jakarta. Pameran ini juga menandai awal babak perdana Cemeti, yang kami sebut sebagai babak “Learning Nearby” atau “Belajar dari yang Dekat”. Sebagai pendahuluan, “Belajar dari yang Dekat” adalah proposisi untuk belajar bersama dan dari satu sama lain. Sebuah proposisi yang direncanakan akan terwujud dalam beberapa program, seperti pembicaraan publik atau diskusi, pemutaran film, program residensi seniman, pameran kelompok, dan pameran solo.

Sehubungan dengan hal ini, cara Ade Darmawan menghasilkan karya yang menekankan transmisi pengetahuan antargenerasi menjadi penting dan tepat waktu. Hal ini relevan dan kontekstual dengan laju teknologi yang cepat yang membenamkan sebagai latar belakang jalur hiperkonsumerisme, yang dalam hal ini, sering kali meremehkan proses produksi pengetahuan jangka panjang. Selain itu, kami percaya bahwa mengundang Ade Darmawan untuk mengadakan pameran tunggalnya di Cemeti akan memicu percakapan dalam banyak lapisan, dari seni secara umum hingga penelitian, materialitas, sejarah, dan sebagainya, yang kemudian menjadi penting sebagai proses distribusi pengetahuan di kalangan audiens dan masyarakat luas. Sejalan dengan gagasan tentang “Belajar dari yang Dekat”, pengantar singkat ini akan mengawali perbincangan mendalam dan komprehensif dengan Ade Darmawan, sebuah proses pembelajaran kolaboratif untuk memahami secara menyeluruh penelitian dan pengalaman langsungnya.
 
 
Dito Yuwono & Mira Asriningtyas
Direktur Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat