On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing (2025)
On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing
Pameran Kelompok:
Arief
Budiman
Basma
al-Sharif
Danarto
dkk.
Enka
Komariah
Noor
Abed
Wulan
A. Putri
Cemeti.-
Institute for Art and Society
13
Maret – 18 April 2025
Terinspirasi
dari gagasan Arundhati Roy tentang seni sebagai bentuk perlawanan terhadap
kekuasaan, pameran ini menegaskan peran kita dalam melawan ketidakadilan dan
merebut kembali narasi. Pameran ini memperlihatkan bagaimana kisah pribadi
terhubung dengan pergulatan politik yang lebih luas, dalam upaya membuka ruang
dialog antar gerakan global, dari Palestina hingga berbagai belahan dunia
lainnya.
Pameran
ini dibuka dengan mural karya Enka Komariah di dinding Cemeti, yang merajut
citra perlawanan untuk membuka percakapan tentang antar perjuangan global dan
solidaritas lintas benua. Gambar-gambar yang ditampilkan berakar kuat pada
realitas perjuangan Palestina, tetapi juga mampu melampaui konteksnya, menggema
dalam narasi yang lebih luas tentang perlawanan dan ketahanan terhadap
penindasan di berbagai penjuru dunia– bahkan yang terjadi di sekitar kita.
Bahasa visual mural ini menghidupkan pengalaman bersama tentang penggusuran,
pembangkangan, dan pencarian keadilan yang terus berlanjut dalam berbagai
geografi dan sejarah.
Di
pintu masuk pameran, terdapat linimasa cerpen-cerpen Danarto tentang Palestina,
yang disusun oleh kelompok riset Danarto dkk., menelusuri eksplorasi sastra
Danarto dari tahun 1968 hingga 2009. Berpusat pada gagasan Armageddon yang
menghubungkan karya-karyanya dan ditulis dalam rentang 40 tahun, linimasa ini
menampilkan sembilan cerpen yang disandingkan dengan peristiwa-peristiwa
sejarah yang mungkin memengaruhi perspektifnya. Ditemani oleh ilustrasi karya
Danarto sendiri, pilihan cerita ini diperkenalkan oleh sang penulis, meskipun
ia telah tiada, mencerminkan keyakinannya bahwa semua ciptaan memiliki nilai
yang setara—baik bagi manusia maupun rayap.
Karya A
Night We Held Between oleh Noor Abed mengeksplorasi sejarah sebagai
sesuatu yang terus berlangsung melalui lagu arsip Song for The Fighters,
merangkai suara, ruang, dan imajinasi kolektif. Difilmkan di landskap kuno
Palestina, karya ini mengungkap dunia-dunia tersembunyi di balik permukaan yang
terlihat, menyatukan ritual, perlawanan, dan kehidupan sehari-hari untuk
menyoroti kekuatan ritme kolektif dalam menopang komunitas.
Karya
video Wulan A Putri, Tutaha Subang, Dongeng untuk Anakku,
menghadirkan pendekatan ekofeminis terhadap ekosida dan transmisi pengetahuan.
Berlatar ancaman ekspansi kelapa sawit di tanah suku Awyu, video ini
merefleksikan surat emosional Rikarda Maa kepada putrinya, Mila, menggabungkan
narasi pribadi dengan rekaman Prosesi Sasi. Saat ingatan dan kata-kata melemah,
film ini menyelami pengalaman seorang perempuan sebagai ibu sekaligus pejuang,
menegaskan ketahanan dalam menghadapi kolonialisme yang terus merayap.
Di
sisi lain, dengan merujuk pada cerpen-cerpen Pendeta Izaak Samuel Kijne tentang
perjalanan dua sahabat di Papua, karya ini mengikuti videografer Arief dan Edi
yang saling bertukar ingatan dan imajinasi berdasarkan pengalaman mereka di
sana. Rekaman yang mereka kumpulkan mempertemukan lanskap Papua yang memesona
dengan realitas sosial-politiknya yang penuh ketegangan. Ditampilkan untuk
pertama kalinya dalam pameran ini, Arief Budiman menelisik keterkaitan kompleks
antara identitas, sejarah, dan tanah, mengungkap ketegangan antara ingatan
personal dan jejak konflik yang masih terasa dalam tubuh.
Instalasi
The Story of Milk & Honey oleh Basma al-Sharif adalah karya yang intim,
terdiri dari citra fotografi, teks-teks terfragmentasi, gambar pensil, dan
video yang menelusuri kegagalan seorang pria dalam menulis kisah cinta di
Beirut. Memadukan yang personal dan politis, karya ini menyusun ulang foto-foto
yang diambil diam-diam di Corniche Beirut, gambar-gambar album keluarga yang
telah diubah, serta ilustrasi sejarah alam yang kehilangan kata
“Tanaman”—setiap penghapusan dan kekosongan membentuk narasinya sendiri.
Melalui tumpang tindih ingatan dan fiksi, karya ini mengungkap bagaimana
kerinduan pribadi dan realitas politik saling bertaut, mempertanyakan bagaimana
kita mengumpulkan, menafsirkan, dan merekonstruksi sejarah agar sesuai dengan
keinginan kita.
Lebih dari sekadar refleksi perlawanan, pameran ini juga merupakan sebuah pernyataan institusional bagi Cemeti dan FFD, menempatkan kita semua dalam lanskap ketidakadilan dunia. Di ruang ini, kita mengakui kekuatan transformatif dari cerita untuk mengguncang, menantang, dan membentuk kembali narasi yang dipaksakan, menegaskan bahwa dunia lain bukan hanya mungkin, tetapi tengah dalam proses terwujud. Kesadaran ini menguatkan kita dan memberi harapan akan masa depan yang lebih baik—”Pada hari yang sunyi, aku bisa mendengar napasnya.”
Dito Yuwono & Mira
Asriningtyas
Director Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat






