Nyawiji Ibu Bumi (2025)
Nyawiji Ibu Bumi
Pameran Tunggal Fitri DK
Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat
13
Juni – 09 Agustus 2025
Sejak
2009, Fitri DK terlibat dan belajar bersama dalam gerakan warga Kendeng yang
menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
Perjumpaannya bermula dari kabar kriminalisasi sembilan petani, yang lalu
menggerakkannya—bersama kolektif Taring Padi— membuat poster cukil sebagai
bentuk solidaritas. Sejak saat itu, keterlibatannya tak pernah putus. Fitri
hadir bukan sekadar sebagai seniman, tetapi sebagai teman dan dulur, yang terus
menyambangi, menyambung, dan menyumbang dalam perjuangan warga menjaga ruang
hidup mereka. Pameran ini adalah hasil dari perjalanan panjang lintas waktu dan
bentuk. Ia adalah hasil dari rembug bersama warga, dari obrolan di bawah tenda
perjuangan, dari ingatan tentang upacara rakyat, dan dari keberanian ibu-ibu
Kendeng yang mengecor kakinya dengan semen di depan Istana Negara. Dalam
pameran ini, Fitri menghadirkan karya-karya cukil kayu, batik, gerabah, hingga
dokumentasi lagu perjuangan, sebagai upaya menyebarkan semangat “Nyawiji Ibu
Bumi”—menyatukan diri dengan bumi, dan hidup selaras tanpa merusaknya.
Judul
pameran ini, dipilih dari tembang pangkur warga Kendeng, bukan sekadar
representasi tema, tapi sikap hidup yang dihayati bersama. Bagi Fitri,
dokumentasi bukan sekadar arsip, melainkan sarana edukasi, penyemaian
solidaritas, dan penciptaan ruang belajar bersama. Pameran ini juga menegaskan
pentingnya regenerasi perjuangan. Salah satu masukan warga Kendeng adalah
pelibatan Wiji Kendeng—generasi muda sedulur Sikep yang aktif dalam pesinauan
dan kegiatan belajar lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan bukan
sekadar resistensi terhadap tambang, tetapi perawatan nilai hidup dan budaya
sebagai bagian dari keberlanjutan. Melalui karya-karya Fitri, kita diajak
melihat bahwa seni bisa menjadi resonansi perjuangan rakyat. Karyanya bukan
hanya estetika, tetapi bagian dari strategi gerakan; media untuk membuka
percakapan, membangun empati, dan membentuk jaringan solidaritas lintas
wilayah. Dalam dunia yang semakin cepat dan terhubung, Fitri justru
mengingatkan pentingnya silaturahmi fisik— sambang dan rembug sebagai dasar
dari keterlibatan yang setara dan bermakna.
“Nyawiji
Ibu Bumi” adalah ajakan untuk berhenti sejenak, mendengar cerita atas gunung
yang dijaga, air yang dirawat, tanah yang dicintai, dari perempuan-perempuan
yang memilih berdiri teguh untuk masa depan anak cucu mereka. Sebuah pameran
yang lahir dari persahabatan, keberanian, dan cinta pada bumi.
Dito Yuwono & Mira
Asriningtyas
Direktur Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat






