Pengembaraan, Percakapan, dan Hal-Hal Acak Lainnya
Sekitar satu setengah tahun yang
lalu, Sandy Yudha datang dengan membawa rencana pameran tunggal yang idenya
mengalir bersamaan dengan minat yang terus berganti dari waktu ke waktu. Sebuah
rancangan pameran yang sudah siap dieksekusi bisa berubah sebulan kemudian,
tergantung buku apa yang sedang kami baca atau berita apa yang sedang hangat
saat itu. Saya, yang biasanya menikmati keteraturan, entah bagaimana justru
menyukai proses yang melompat-lompat, tidak runut, namun secara bersamaan
idenya diproses secara stimultan. Meskipun tema tentang kekerasan telah menjadi
benang merah karyanya beberapa tahun terakhir, ia selalu menyajikannya dengan
penuh humor, detil yang cenderung asing, dan metafor yang usil. Pengamatan
Sandy atas detil-detil kecil dalam kehidupan menghasilkan visual yang terwujud
dari dalam pikirannya.
Tentang Ruang Publik dan Utopia
yang Terus Dihancurkan Sejak dalam Pikiran
Awalnya, kami berbincang tentang
ruang publik dan maknanya. Namun, alih-alih membuat karya di ruang publik, ketertarikan Sandy saat itu adalah untuk
mewujudkan apa yang kerap ia bayangkan tentang
ruang publik, kekerasan, fenomena sosial politik, dan pengalaman-pengalaman
yang menyertainya. Ruang publik dalam pikirannya meliputi elemen bangunan,
arsitektur, tata kota, jalan raya, tempat parkir, lapangan, tempat rekreasi,
dan taman. Semua hal tersebut dianggap bisa menstimulasi tindakan dan sikap
manusia di dalamnya. Dalam prakteknya selama ini, Sandy Yudha selalu mengimajinasikan
ruang publiknya sendiri. Ia kerap membuat bangunan ramah untuk penghuni yang
tidak membuat kiri-kanannya resah dengan fasilitas yang memungkinkan warganya
berinteraksi secara intim. Hal itu memancing toleransi, memicu kreatifitas
dengan teman, bisa menjadi tempat untuk mencari hiburan dan memberi kebebasan
bersantai.
"Utopis sekali", pikir
saya saat itu. Fasilitas ruang publik yang penuh stimulasi positif dan
menyediakan kebebasan mutlak terasa terlalu baik, terlalu tidak mungkin
diwujudkan, dan terlalu rapi bahkan dalam gambar sekalipun. Maka, tentu saja,
Sandy yang berpikir secara visual dengan segera menghancurkan Utopia tersebut
sejak dalam pikiran. Gambarannya atas ruang publik yang serba ideal itu segera
berubah menjadi rangkaian pertanyaan.
Dalam kehidupan urban yang nyata,
lengkap dengan gaya hidup yang menjadikannya
‘kota’; ruang publik mutlak ada dan merupakan fungsi yang vital. Maka tidak
jarang ruang publik direbut oleh kepentingan kapitalis yang semaunya sendiri.
Belum lagi adanya masalah keamanan yang mengkhawatirkan. Tidak jarang perebutan
tersebut mengakibatkan konflik. Di ruang yang tidak harmonis ini, masihkan
individu punya kedaulatan? Jika ruang publik tidak tersedia atau ditiadakan,
semua orang akhirnya akan mencari ruang lain yang terbuka untuk umum. Umumnya,
tempat-tempat ini (mall, bioskop, club,
lapangan futsal, game center, dan lain sebagainya) merupakan area
perdagangan dan menjadi pusat hiburan yang aman, sejuk, dan menyenangkan bagi
masyarakat. Masyarakat mendapat tempat untuk mengekspresikan dirinya dan lambat
laun menganggap tempat-tempat itu adalah ruang publik. Apakah ini keadaan yang
sehat jika dibiarkan terus menerus? Jika tidak, bukankah adanya ruang publik
yang memadai merupakan tanggung jawab pemerintah dengan segala aturan dan
kebijaksanaannya? Bagaimana dengan peran para pekerja kreatif yang terkadang
terkesan abai karena kemalasan berhubungan dengan birokrasi pemerintah? Di mana
posisi para kaum intelektual dalam hal ini?
Sebagian orang mulai menyadari bahwa
tindakan merebut kembali ruang publik (reclaiming
the public space) merupakan sebuah gerakan sosial dalam meminta hak semua
orang atas ruang bersama. Para pekerja kreatif seperti seniman visual membuat
respon atas kondisi tersebut dengan membuat gambar dan tulisan yang menurutnya
menarik untuk memberi warna lain di sudut-sudut kota.
Apakah aksi itu merupakan bentuk
kepedulian, ataukah itu reaksi dari perayaan atas kebosanan semata? Kemudian
pertanyaannya berkembang ke arah toleransi di ruang publik. Toleransi di
Indonesia, baginya, sampai saat ini terkadang terasa seperti ‘berbeda tapi
binasa’. Seringkali ruang publik yang dibangun pemerintah juga untuk
mendisiplinkan orang, misalnya dengan pelarangan kegiatan ini itu dan ijin dari
polisi / orang kampung setempat. Arsitek
memahami bahwa pekerjaannya merancang bangunan, seniman memahami dirinya
sebagai pembuat karya seni: seolah mereka hanya sebatas bergerak pada penataan
estetika. Di titik ini, bagi Sandy Yudha, anak muda lah yang biasanya memiliki
energi dan antusiasme untuk memulai perubahan dari diri mereka sendiri. Saat
ini lah Sandy mulai mempelajari tentang anak muda dan sikap-sikapnya yang
terkadang dirasa aneh.
Tentang Gejolak Muda dan
Antusiasmenya
Apa yang disebut Sandy sebagai
'keanehan' anak muda tersebut dirasa sebagai bagian dari hasil pembentukan
budaya yang sama anehnya dan terkadang membuat mereka (anak muda) terisolasi. Saat itu, Sandy merujuk pada delapan tahap
perkembangan psikososial Erikson dan memilih dua tahap sebagai pokok pembahasannya:
pertama, tahap usia remaja hingga 19 tahun yang disebutnya sebagai masa
identitas vs kebingungan; ke-dua, tahap usia 19 hingga 40 tahun yang disebut
sebagai masa intim vs isolasi. Sandy ingin membicarakan sebuah generasi sambil
sekaligus menyentuh aspek budaya, politik, ekonomi, teknologi, dan sejarah yang
bersentuhan dengannya.
Di salah satu percakapan kami,
Sandy merujuk pada suatu masa di akhir perang dunia kedua ketika Jepang berada
di ambang kekalahan. Petinggi angkatan laut Jepang yang kalang kabut membuat
sebuah rencana instan: sebuah senjata pamungkas berupa bom terpedo hidup yang
bernama Kaiten, diarahkan untuk
menabrak dan menghancurkan kapal sekutu. Bom ini bisa dikendalikan oleh tentara
yang siap bunuh diri di dalamnya, mirip dengan pesawat kamikaze. Walaupun secara teori senjata ini terkesan mengerikan,
proyek ini berakhir tragis karena terbukti tidak efektif. Ternyata sebelum
terpedo hidup ini mendekat, kapal sekutu sudah mengetahui lewat sensor canggih,
sehingga Kaiten bisa ‘dihentikan’ di
tengah jalan. Yang menarik bagi Sandy adalah umur rata-rata tentara Jepang yang
diterjunkan untuk menguasai Asia Pasifik ini. Tentara muda tersebut rata-rata
berumur sekitar 17 tahun. Oleh karena itu, ketika mereka masuk di tanah Jawa,
mereka sering disebut sebagai 'prajurit kate', karena terlihat kecil seperti
ayam kate. Anak muda ini direkrut oleh militer yang 'mencuci otak' mereka,
mempengaruhi dengan pandangan-pandangan heroik dan iming-iming surga. Harga
diri dan keluhuran membuat mereka berani mati dan dengan suka-rela melakukan
bunuh diri.
"Bukankah hal itu tidak beda
jauh dengan saat ini?", tanya Sandy. Pelaku kekerasan yang disebut teroris
tak jarang merekrut anak-anak muda. Konon mereka direkrut melalui media sosial,
sehingga cakupannya pun melintasi batas teritori. Pelaku bom bunuh diri Paris,
penembakan di California, dan lain-lain rata-rata berumur 30an. Di sekitar
kita; geng motor, konvoi ormas, supporter bola, dan tawuran pun umumnya terdiri
dari sekumpulan anak muda yang masih sangat mudah untuk diajak melakukan
perusakan dan kekerasan entah dengan motif ideologi agama, kekuasaan,
solidaritas, balas dendam, reputasi, atau sekedar ikut-ikutan dalam keseragaman
rasa. Generasi muda yang berada di tahap menuju kematangan dan mencari
identitas diri untuk menjadi seseorang yang unik ini rentan terlibat aksi.
Kembali merujuk pada delapan tahap perkembangan psikososial Erikson, masa
ke-dua saat anak muda berada di masa identitas vs kebingungan ini merupakan
masa rentan dalam proses perkembangan manusia. Jika tidak berhasil membangun
hubungan personal dengan orang lain, maka ia akan terisolasi dan dapat pula
tersisih dari lingkungannya.
Sisi lain tentang ‘menjadi unik’
juga sering dipahami sebagai usaha menjadi anti-mainstream.
Hal ini indentik dengan kebebasan, kreatifitas tanpa batas, keliaran, anti
kemapanan, dan bahkan jika mereka terlihat aneh. Mereka (mungkin juga kita) dikuasai pencitraan konsumtif karena media.
Media massa membuat penyeragaman rasa atau selera yang menjadi konsumsi fisik
maupun wacana. Identitas menjadi keharusan yang harus dimiliki anak muda. Apa
yang dilakukan untuk membentuk diri mereka dan menikmati hidup? Apa yang sedang
mereka cari? Apa yang ingin didapatkan? Bagaimana mereka memperjuangkannya?
Dalam 'riset' yang dilakukannya,
Sandy mempelajari tiga teori yang bersingungan dengan anak muda:
1. Teori Erikson yang membagi
manusia berdasarkan umur dan krisis psikososial.
2. Teori generasi berdasarkan tahun
kelahiran, menyangkut teknologi dan trend.
3. Tembang Jawa yang membagi
manusia dari sifat, kebiasaan, watak dan tantangan hidup
Dalam prosesnya, ia merasakan
anehnya teori-teori ini ketika serta merta diterapkan di lapangan. Maka ia
menggunakan caranya sendiri untuk membandingkan dan menggunakan dirinya sebagai
contoh kasus. Misalnya, jika Sandy sendiri ditelaah dengan ketiga teori
tersebut, maka ia masuk ke fase dewasa awal
berdasarkan teori Erikson, merupakan bagian dari generasi Y ketika
disangkutkan dengan teknologi, dan sekaligus berada dalam masa dirundung asmara
sebagaimana dalam tembang Asmarandana. Ia merasakan kekacauan teori yang dipilihnya
ketika ia melakukan refleksi atas dirinya yang ada di fase Dewasa Awal, namun
juga sering mengalami stagnasi dan kekacauan identitas seperti sifat para Dewasa
Pertengahan dan Remaja AKhir. Ia adalah bagian Generasi Y, namun ia dibentuk
oleh subkultur punk dan terbiasa melakukan multitasking; sementara dua kualitas
tersebut merupakan ciri Generasi X dan Generasi Z.
Maka percakapan kami yang ngalor-ngidul tentang tiga teori
tersebut kemudian dihentikan. Penelitian semacam itu dirasa kurang tepat
baginya. Ia menginginkan sebuah penelitian yang lebih imajinatif, tidak linier,
dan dilakukan melalui pergaulan yang menggembirakan serta eksploratif.
Begitulah saya menemukan pola 'riset' yang dilakukan Sandy: membaca, menelaah,
mempelajari peraturannya, kemudian melabraknya. "Knowing the rule in order to break them", semacam
itulah.
Ia pun melakukan observasi dan
riset singkat atas gambaran kehidupan anak muda serta berbagai perilakunya:
anak muda yang mudah marah, anak muda yang memandang dunia dengan hitam putih,
anak muda yang senang petualangan, anak muda yang penuh energi, anak muda yang
lari ke hal menyimpang, anak muda yang digempur puluhan informasi, anak muda
yang tidak tahu apa yang harus dilakukan di era reformasi ini, anak muda yang
menelan budaya pop,anak muda yang mempunyai humor khas, anak muda yang optimis
dan berjuang, anak muda yang pesimis karena hambatan bagitu banyak, anak muda
yang menemukan moral dan perilakunya sendiri, anak muda yang punya banyak
mimpi, anak muda yang omongannya tidak didengarkan, anak muda yang nekat, gegabah
dan sporadis. Seluruhnya akan terangkum dalam sebuah pameran yang menyajikan
gambaran sebuah dunia yang surreal,
sedikit aneh, dinamis, dan dipenuhi detil yang asing namun sekaligus dekat
dengan keseharian kita. Begitulah awal mula kemunculan roket dalam hasil akhir
pameran ini.
Berbulan-bulan setelah percakapan
awal kami untuk persiapan pameran yang lokasinya terus menerus berubah, penuh
ketidakpastian, dan persis dengan perkembangan ide pameran ini; kami sampai
pada percakapan tentang Sukarno dan jargon yang sering kita dengar: "Beri
aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Begitu yakinnya Sukarno
pada para pemuda, namun pemuda seperti apa yang dimaksud Sukarno saat itu?
Pemuda yang berdikari? Pemuda yang anti neo-kolonialisme dan anti imperialisme?
Pertanyaan tersebut sempat membuat Sandy ingin membuat membuat sebuah komik
yang isinya imajinasi jika Sukarno berumur panjang dan masih menjadi Presiden
hingga saat ini. Ketika beliau hidup hingga lebih dari 100 tahun, kira-kira
negara ini akan menjadi seperti apa? Suatu ketika, bahkan Soeharto pun pernah
menjadi seorang pemimpin muda yang menjanjikan masa depan penuh harapan.
Seiring berjalannya waktu, ia pun berubah menjadi pemimpin tua yang lalim.
Apabila Sukarno masih menjadi presiden hingga seratus tahun lamanya, akankah ia
menjaga idealismenya dan dicintai rakyatnya, ataukah ia akan menjadi tua,
lalim, dan dibenci juga? Komik tentang Sukarno tidak jadi dibuat, namun ide
tentang membuat komik terus dipertahankan.
Tentang Kekerasan, Peradaban Baru,
dan Sejarah yang Berulang
Dimulai dengan pembicaraan tentang
kaitan antara sejarah, negara, dan anak muda; Sandy pun membayangkan sekelompok
anak muda yang dikumpulkan dalam satu roket untuk pergi ke sebuah tempat baru.
Karya ini merujuk pada kecenderungan anak muda yang ingin membuat nilai-nilai
baru. Selayaknya spaceship yang
mencari sebuah planet baru; roket ini masih sedikit labil, terkadang bingung.
Namun Sandy melihat pencarian identitas ini sebagai bentuk keberanian anak
muda. Ia tidak sedang menyuarakan sebuah kaum tertentu, namun membuat karya
yang universal, bebas nilai, dan mudah dikaitkan. Baginya, krisis identitas dan
kegagapan anak muda atas sejarah masa lalu sebuah negara bisa jadi timbul atas
adanya informasi yang dipelintir sehingga membuat memori kolektif menjadi
sebuah jejak acak yang membingungkan. Anak muda dalam kisah Sandy merasa gamang
dengan agama yang ada sekarang, karena justru agama dijadikan alat untuk saling
memecah-belah. Mereka heran dengan sistem negara yang katanya demokratis tapi
penguasanya tidak pernah melibatkan rakyat, kecuali dalam hal tagihan pajak.
Mereka ingin belajar melawan, namun pendidikan mereka diatur untuk meredam hal
itu. Mereka mengkritik kapitalisme, namun justru kapitalisme mengolah kritik
mereka dan menyajikannya kembali.
Sandy banyak memakai metafor roket
yang baginya menyuarakan hal-hal alternatif yang mungkin utopis, namun baginya
terasa elegan. Roket juga membicarakan pengalaman, keberanian, keaktifan dan
semangat baru: pengembaraan ke berbagai teritori yang penuh dengan berbagai
kemungkinan yang tidak terduga! Identitas mereka tidak lagi berpegang pada masa
lalu atau nilai-nilai yang ada. Tidak ada lagi barat atau timur; yang ada
adalah Bumi dan non-Bumi.
Anak muda ini merasa ikatan
kewarganegaraan bangsa semakin melemah. Sebagian dari mereka merupakan
orang-orang yang tidak patuh pada negara. Mereka ingin membentuk suatu
peradaban yang lebih berarti, tidak tercemar, intelektual, penuh kedamaian.
Mereka pergi meninggalkan planet ini dengan roket. Menjelajah alam misteri demi
menemukan planet baru. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan,
sampailah mereka ke sebuah tempat. Mereka tercerai-berai karena kondisi alam
yang ganas. Prioritas utama saat ini adalah, bagaimana agar bisa bertahan
hidup. Seiring berjalannya waktu, tiap kelompok membuat pemukiman yang semakin
lama semakin besar dan semrawut. Agar semua bekerja dengan baik, maka dibuatlah
peraturan-peraturan. Namun budaya yang diatur sedemikian rupa, justru malah
tidak bisa diatur. Para intelektual menciptakan peraturan tandingan. Terjadilah
aksi-aksi kekerasan yang sama seperti di planet lama mereka: sejarah yang
terulang kembali.
Lebih dari setahun setelah obrolan
pertama kami, potongan-potongan pemikiran yang terakumulasi sepanjang obrolan
kami mewujud sebagai sebuah gambaran pameran yang utuh. Perbincangan tentang
ruang publik menjadi sebuah lanskap daerah tak-bernama, sebuah masyarakat
utopia yang nyaris sempurna, egaliter, dan tentu saja fiktif. Anak muda yang
ditelitinya menjadi para penjelajah luar angkasa yang mencari kebebasannya,
membentuk wilayah sesuai idealismenya, melupakan sejarah dan mengulanginya.
Lagi-lagi, Sandy menciptakan Utopia-nya untuk kemudian menghancurkannya.
Komik, dipilih menjadi media yang
paling pas untuk menggambarkannya. Maka bila pengunjung memasuki ruang pamer
dan merasa sedang melihat pameran lukisan, sesungguhnya pengunjung sedang
memasuki sebuah dunia komik yang diperbesar. Setiap sisi tembok merupakan satu
halaman komik yang diperbesar, setiap kanvas merupakan satu panel komik, dan
seluruh rangkaian pameran merupakan satu cerita yang utuh. Rangkumannya
terdapat pada sebuah video yang disajikan bersama instalasi roket serta
benda-benda pendukung cerita tersebut. Video merupakan kisah utuh komik, gambar
dan instalasi merupakan perbesaran citraan tersebut.
Ini bukan pertama kalinya kami
bekerja sama. Kami pernah membuat sebuah komik bersama dengan metode yang mirip
dengan proses yang kami lakukan dalam membuat pameran ini: pertemuan rutin dan
percakapan-percakapan tentang hal-hal acak. Tulisan ini adalah rangkuman
percakapan acak kami selama setahun terakhir. Saya merasa perlu menuliskannya
karena di akhir percakapan, hal-hal yang awalnya acak tersebut rupanya
membentuk sebuah gambaran yang utuh dan saling berkaitan. Akhirnya saya tahu di
sisi mana saya sangat menikmati proses bekerja bersama Sandy: saya menikmati
keteraturan, Sandy menyajikan gambaran yang acak-- saya senang bermain-main dan
menata gambaran acak ini untuk menjadi sebuah rangkaian jigsaw puzzle yang utuh. Maka tulisan ini dibuat, sesungguhnya,
sebagai refleksi pengembaraan panjang yang kami lewati dan pengantar (tidak terlalu) singkat atas pameran ini
dan buku yang akan dirangkai setelah pameran selesai. Selamat menikmati!
(Mira Asriningtyas)