Sebuah Jalan Berputar: dari AADC hingga Freeport
Saya memilih untuk menuliskan ArtJog melalui
jalan yang berputar dan membicarakan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya.
Ada saat ketika meta-event atau hal-hal
yang terjadi di sekeliling sebuah acara besar berkembang menjadi lebih menarik
dibandingkan acara itu sendiri. Begini saya melihatnya: ArtJog adalah sebuah
inti pusaran. Sekali dalam setahun, pusaran tersebut menjadi aktif dan segala
sesuatu yang berada di sekelilingnya secara bersamaan bergerak membentuk sebuah
dinamika kebudayaan kota. Menariknya, meskipun ArtJog adalah sebuah bursa jual
beli, namun ketika pembahasan ini dibuat tentang hal-hal di sekelilingnya,
sulit untuk melihatnya sebagai perhelatan yang mutlak berorientasi pasar.
ArtJog adalah sebuah kisah perjuangan yang merupakan bagian dari semangat
zaman.
Jumlah pengunjung yang fantastis, atensi
publik seni dari dalam dan luar negeri, keberaniannya untuk memotong rantai
distribusi dalam pasar seni rupa dengan meniadakan galeri sebagai perantara,
serta adanya peluang yang sama bagi seniman muda dan senior untuk mengikuti
acara tersebut membentuk ciri utama ArtJog. Tercatat setiap tahunnya terdapat
puluhan hingga ratusan acara seni yang berlangsung pada bulan yang sama dengan
penyelenggaraan ArtJog. Jumlah seniman yang terlibat dalam kurun waktu 9 tahun
penyelenggaraan ArtJog mencapai kurang lebih 1350 seniman dengan jumlah
pengunjung mencapai hingga 100 ribu orang tiap tahunnya. Sampai tahun ini saja,
terdapat lebih dari 1 juta pengunjung yang datang dan mengalami kesenian
melalui acara ini.[1]
Seperti layaknya kota Jogja, ArtJog tumbuh secara organik dan viral; bersifat
kolektif, namun memiliki independensi yang kuat.
-----
1/ Penonton
“The most
pressing question concerning the relationship between audience and public today
is therefore not so much how to increase the amount of audience, but rather how
a meaningful form of art appreciation in which experience and debate are both
present can be made accessible for an appropriate audience and how a broader
community could benefit from the experience of this selected group”[2]
Keberadaan para penonton terkadang menjadi ketegangan
tersendiri di dunia seni rupa. Publik seni rupa menginginkan adanya audiens
baru dan keberadaannya cukup krusial dalam praktek produksi kebudayaan, namun
tidak jarang juga kehadirannya dianggap mengganggu. Hal ini terjadi ketika
karya seni dianggap sebagai produk statis yang berfungsi sebatas sebagai latar
belakang foto diri. Saat itu peran seni untuk publik dimaknai dengan dangkal.
Namun pengalaman pengunjung dalam menikmati seni dengan cara berbeda ini bisa
jadi merupakan tahapan awal yang mungkin akan memancing ketertarikan mereka
pada seni yang lebih luas. Terkadang untuk audiens baru, menikmati seni yang
tidak rumit dan tidak berjarak menjadikan seni itu sendiri lebih akrab dan
tidak mengintimidasi. Keberadaan para
pengunjung memperlihatkan pintu gerbang sesungguhnya untuk mengintip ke dalam
skena seni rupa. Sebagaimana sifat konsumen di masa post-modern, otentisitas dan pengalaman nyata dalam bersentuhan
dengan dunia seni merupakan nilai yang mereka cari. Keterbukaan terhadap
audiens ini menjadikan seni tidak lagi asik sendiri dan berhasil berhubungan
langsung dengan masyarakatnya. Seni
menjadi wahana yang mengasyikkan dan dimiliki oleh masyarakat sebagai bagian
dari budaya populer.
Persinggungan antara seni kontemporer dan
budaya populer baru-baru ini dapat dilihat dari film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC
2) yang mewakili semangat jaman anak muda masa kini: selera yang baik, keinginan
untuk mengalami hal-hal yang niche,
dan cenderung artsy. Ketika film AADC
2 menggandeng nama-nama besar dalam seni rupa kontemporer dan sekilas
menghadirkan karya-karya seni dalam filmnya; kesadaran atas keberadaan seni rupa
kontemporer dan para pelakunya menyebar ke audiens yang lebih luas. Dalam
penjelasannya tentang pengaruh film, Jowett & Linton menyebutkan bahwa film
memiliki kemampuan untuk menjadi kreator bagi ide dan sikap, terutama ketika
penonton berjarak dengan isu yang diangkat.[3]
Di dalam film AADC 2, karakter utamanya digambarkan sebagai pecinta seni dan
budaya sedangkan sahabat-sahabatnya dengan jujur menyatakan ketidaktahuannya
atas nama seniman seperti Eko Nugroho maupun makna karya instalasi. Kebingungan
tersebut menunjukkan jarak antara seni rupa dengan masyarakat yang lebih luas.
Sedangkan hal-hal kecil seperti pengalaman mendatangi pembukaan pameran, nongkrong di galeri seni, dan penggunaan
jargon seni rupa dalam film ini memberikan pengalaman kolektif para penonton yang
narasinya membuat beberapa orang dengan mudah mengidentifikasi dirinya dengan
karakter dalam film. Secara tidak langsung, para penonton AADC 2 terdorong
untuk ‘meniru’ kedekatan karakter film dengan dunia seni dan tidak merasa
terintimidasi atas ketidaktahuan mereka.
Kolaborasi antara seni dan budaya populer
dalam film ini semakin nyata hadir dengan kedatangan para pemain, sutradara,
dan produser film AADC 2 ke lokasi ArtJog. Jarak antara yang kehidupan nyata
dan film semakin samar tidak hanya karena para pelaku seni yang dihadirkan di
film tersebut adalah pelaku nyata dunia seni kontemporer; namun juga karena dua
pemeran utama dalam film AADC 2 (Dian Satro dan Nicholas Saputra) memang
memiliki kedekatan dengan dunia seni kontemporer dalam kehidupan nyatanya.
Dalam media sosial masing-masing, mereka secara tidak langsung menjadi ‘juru
promosi’ bagi ArtJog dengan menunjukkan kehadiran mereka dalam acara tersebut
maupun kecintaan mereka terhadap seniman dan karya yang ditampilkan. Tahun ini,
bagi saya, citraan tentang ArtJog yang terus teringat adalah ketika Dian Satro
mendeklarasikan kecintaannya terhadap karya Eko Nugroho saat dia bahkan masih
berada di pesawat menuju Jogja untuk mengunjungi ArtJog dan bagaimana dia turut
serta secara aktif dalam seni performatif yang dilakukan Uji ‘Hahan’ Handoko.
Saat itu realita film AADC 2 melebur dengan dunia nyata. Kolaborasi tersebut
seperti membangun jembatan terhadap audiens baru seni kontemporer dan
memasukannya ke ranah yang lebih pop.
Efek sosial dan budaya dari hingar bingar
ArtJog sebagai pusat hiburan masyarakat berskala besar ini sebenarnya cukup
menjanjikan. Meskipun terkesan penuh selebrasi, namun ketika lampu telah
dimatikan, sebagian dari anak muda yang terlibat di dalam hingar bingar ArtJog
sebelumnya akan tetap tinggal dan bukan tidak mungkin akan turut serta dalam
dinamika dunia seni rupa di kemudian hari. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah
bentuk inverstasi sekaligus edukasi publik. Bagaimana ArtJog berusaha menyuguhkan karya
seniman undangan, seniman internasional,
dan comissioned artist bisa dilihat
sebagai sarana bagi publik untuk mengetahui perkembangan seni rupa global
terkini sekaligus menumbuhkan partisipasi publik terhadap wacana seni rupa. Pembentukan
audiens dan edukasi publik di negara-negara yang memiliki infrastruktur seni
formal memang merupakan tugas museum; namun praktek ini tidak berjalan dengan
semestinya di Indonesia. Usaha untuk menarik publik ke museum tidak mudah,
sedangkan koleksi museum sebagai pusat edukasi budaya dinilai tidak lagi
relevan dengan seni kontemporer. Praktik artistik, transfer gagasan, produksi
pengetahuan, serta edukasi publik ini tentu saja bukan barang murah. Kebutuhan
modal ekonomi, sumber daya manusia, serta ruang ini yang memunculkan polemik
berikutnya: uang ‘kotor’ yang diberikan oleh Freeport-McMoRan Inc.
-----
2/ Tentang
Pendanaan
Saya adalah satu dari sebagian orang yang
sempat kecewa ketika mengetahui bahwa ArtJog kali ini menghilangkan salah satu
ciri khasnya dan ideologinya; tidak ada lagi panggung yang dibagi antara
seniman yang sudah mapan dengan nama-nama baru yang karyanya dipilih melalui
panggilan terbuka. Ketika ArtJog masih menerapkan sistem open-call, terkadang
terdapat kejutan-kejutan menyenangkan dari karya maupun seniman yang namanya
kurang akrab. ArtJog kali ini menerapkan sistem closed-call, yang menghasilkan pameran yang meskipun karyanya bagus,
namun pamerannya terasa datar. Hal ini,
mengingat ArtJog adalah lembaga yang cukup ‘idealis’ dalam ranah art fair, bukan tanpa alasan yang kuat.
ArtJog melakukannya karena lembaga ini sedang dirundung krisis keuangan.
ArtJog, seperti banyak inisiatif seni lainnya di Indonesia, banyak didanai
sendiri oleh pelaku seni. Apalagi ArtJog memang merupakan sebuah bursa seni
yang dikelola oleh pribadi. ArtJog memiliki sikap heroik ala ruang seni
alternatif, dengan pengeluaran layaknya sebuah festival besar.
Polemik mulai muncul ketika nama Freeport
muncul sebagai salah satu penyedia dana bagi acara ini. Polemik ini lah yang membuat ArtJog kali ini
berhasil melampaui selebrasi dan gemerlap seni rupa untuk mencapai pembahasan
wacana tentang pendanaan dan etika dalam seni. Lucunya, ArtJog yang terus
menerus menyatakan bahwa mereka adalah sebuah inisiatif privat yang memang
orientasinya jual beli, justru mendapatkan protes pertanggungjawaban dari
masyarakat. Mungkinkah adanya protes ini menandakan perubahan posisi ArtJog
dari sekedar sebuah art fair tahunan
menjadi sebuah acara penting yang dianggap sebagai representasi ideologi
masyarakat?
Bagi saya, memang wajar apabila masyarakat
merasa tersinggung atas keputusan ini. Bagaimanapun juga, ranah seni
kontemporer lekat dengan adanya kritik sosial dan seniman diharapkan menjunjung
tinggi etika dan ideologi dalam kekaryaannya. Seni membutuhkan ruang yang bebas
dan tidak terikat dengan kuasa uang. Ketegangan antara kemapanan, relativisme
moral, dan budaya untuk terus melakukan kritik sosial memang perlu dijaga oleh
para pelaku seni. Namun apakah standar ini perlu dijaga oleh sebuah art fair juga atau ini merupakan kasus
khusus yang terjadi dalam ArtJog? Misalnya, perhelatan seni rupa lain seperti
Bazaar Art atau Art Stage yang mendapatkan sponsor pendanaan dari korporasi
yang bermasalah, akankah timbul polemik yang sama?
Bagi saya, respon publik untuk melakukan
protes terhadap ArtJog, yang adalah sebuah private
initiative, menunjukkan bagaimana masyarakat melihat ArtJog dengan kacamata
lain, lengkap dengan ekspektasi atasnya. Artinya, ada kedekatan dan perasaan
memiliki oleh publik. ArtJog boleh
berbangga hati dan menganggap segala bentuk protes ini sebagai pujian bagi
mereka, atau lebih tepatnya, sebuah deklarasi cinta. Sebagian berharap bahwa
ArtJog, sebagai sebuah ‘ruang seni alternatif’ atau bahkan sebagai pengganti
peran museum publik, memiliki sikap yang lebih kritis terhadap korporasi—
terutama yang melanggar hak asasi manusia. Sebagai sebuah institusi seni yang
independen, idealnya ArtJog menunjukkan sikap kritis yang melawan
kesewenang-wenangan ini. Atau setidaknya, menggigit tangan jahat yang
memberinya makan dan mendorong munculnya karya-karya kritis yang menunjukkan
sikap politis tersebut dengan menggunakan dana yang mereka berikan. Bukankah
hal tersebut merupakan praktek yang biasa dilakukan dalam ranah seni
kontemporer?
Namun yang terus menerus diingatkan oleh pihak
ArtJog kepada publik yang memiliki ekspektasi ini adalah bahwa ArtJog itu,
seindependen apapun, merupakan sebuah bentuk pasar seni. Sifat dasarnya memang
komersil. Independensi yang dimilikinya justru karena ia merupakan inisiatif
privat. Seluruh pengelolaan tidak terikat kewajiban dan hubungan struktural
dengan lembaga lain. Kali ini, ketika pun independensinya dinilai berkurang
karena mereka secara gamblang menerima dana dari pihak-pihak korporasi besar,
namun perilaku ini mungkin merupakan bagian dari usaha untuk menjadi tetap
independen secara kekaryaan.
ArtJog, lengkap dengan pola pemasaran yang
terkini, fasilitasi terhadap kolektor (pembeli),
edukasi atas audiens (yang merupakan
bentuk investasi pasar jangka panjang), justru semakin menunjukkan
posisinya yang komersil. Posisi yang seharusnya bisa disikapi dengan dingin
tanpa ekspektasi personal. Ini adalah sebuah pasar serba ada, dengan
pilihan-pilihan nama seniman yang bisa dilihat seperti brand, perbaikan ruang yang merupakan investasi jangka panjang
untuk ‘etalase toko’ (selain mungkin untuk alasan romantisme), kehadiran para
selebritis yang secara tidak langsung menjadi endorser, lokasi yang strategis dan dibuat serba nyaman, dan sesuai dengan standar tamu-tamu yang datang. Target market mereka cukup jelas,
sehingga ektravaganza dan selebrasi yang terkandung di dalamnya merupakan salah
satu strategi penjualan yang wajar adanya. Apabila dalam bisnis tersebut mereka
tanpa sengaja bersikap tidak empatik dan menyakiti perasaan beberapa pihak atas
nama strategi bisnis yang dingin dan taktis, maka sebenarnya mereka pun tidak
memiliki pertanggungjawaban atas publik maupun donatur yang memberikan
dana secara independen. Artinya, baik pihak
pemberi dana maupun publik tidak memiliki kuasa atas kekaryaan dan keputusan
artistik dalam pameran.
Konon ketika ArtJog memutuskan untuk menerima
dana dari Freeport, mereka sedang berada di ambang antara keberlanjutan atau
tidak. Apakah mungkin akan lebih mudah bagi masyarakat untuk kehilangan event seperti ArtJog yang memiliki
independensinya dan terbukti berhasil menjadi poros acara seni rupa tahunan di
Yogyakarta dibandingkan bila acara ini dinilai mengandung uang ‘kotor’? Pandangan
tersebut memang terasa seakan menyederhanakan permasalahan yang pelik, namun
tidakkah pemikiran bahwa ArtJog yang menggunakan dana Freeport, lantas
menjadikannya bertanggung jawab secara langsung atas segala kejahatan yang
dilakukan secara sistematis oleh perusahaan besar tersebut, juga merupakan
pemikiran sebab-akibat yang terlampau sederhana? Apakah idealisme dan posisi
politis sebuah art fair mungkin untuk
terwujud atau itu merupakan ilusi semata?
Polemik ini juga memantik percakapan tentang support system yang ada dalam dunia seni
rupa kontemporer, absennya peran pemerintah, hingga etika. Pada akhirnya,
polemik ini juga bisa kita gunakan sebagai refleksi sebagai bagian dari skena
seni rupa kontemporer, tentang bagaimana kita saling mendukung untuk menjaga independensi
sebagai pelaku seni. Menurut saya, yang dilakukan oleh ArtJog untuk
memberlakukan sistem tikecting adalah
salah satu upaya kecil menuju kebebasan tersebut. Pemberlakuan sistem tiket,
pemberian honor yang pantas bagi pelaku seni, dan sesekali mengesampingkan
sifat-sifat pengorbanan dan mental gratisan
dapat menjadi pembelajaran untuk keberlanjutan skena seni rupa ini. Selain itu,
pemberlakuan sistem tiket ini menjadikan pengunjung sebagai bagian aktif,
memberikan perasaan kuasa atas ruang dan perasaan turut memiliki kesenian yang
mereka nikmati. Menjadi ‘komersil’ dalam hal ini tidak sama dengan menjadi
elitis apabila hal tersebut mampu menghilangkan teror ruang. Dalam posisi ini,
bahkan sebuah art fair pun bisa
menjadi milik bersama. Meskipun, bagaimanapun juga, ArtJog bukan art fair biasa. Saat ini, ia
bertransformasi menjadi ruang untuk edukasi, dibebani dengan ekspektasi untuk
merepresentasikan ideologi, dan menjadi pintu gerbang yang menghubungkan antara
publik dan seni rupa. Apabila ‘ruang
seni alternatif’ ini tidak keburu bubar, tentunya.
(Mira Asriningtyas)
[1] Art|Jog|9 . 2016. Press Release. http://www.artjog.co.id/content.php?page=release. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2016
[2] Steven Ten Thije, (2014) “Cluster Dialectionary”. Berlin: Sternberg Press.
(p.23)
[3] Garth Jowett & James M Linton, (1980) “Movies as Mass Communication”.
California: Sage Publications, Inc. (p.93)