Eva, Kamu Dimana?


“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa”
(Kundera, “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”)



I. 

Dalam “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”, Milan Kundera berpendapat bahwa ketika sejarah masih bergerak secara perlahan, peristiwa-peristiwa membentuk latar belakang umum bagi adegan petualangan yang mendebarkan dalam kehidupan pribadi. (Ketika) sejarah bergerak dengan kecepatan tinggi, latar belakang menjadi petualangan itu sendiri. Dalam sebuah bangsa yang bertahun-tahun dibentuk dalam amnesia kolektif atas sejarahnya sendiri, mungkinkah hubungan personal seseorang sebagai warga negara dengan sejarah bangsanya terkesan terlepas begitu saja? Lupa, menjadi alat dan strategi elit politik untuk menghindari tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang dibuatnya. Dalam hal ini, tentu saja kecepatan menjadi faktor penting kesuksesan terciptanya amnesia massal tersebut. Pelanggaran demi pelanggaran, ketakutan demi ketakutan, kekerasan dan berita bohong silih berganti menjadi alat politik yang membuat payah ingatan bangsa. Ketika rezim otoriter Orde Baru jatuh pada tahun 1998, ingatan-ingatan yang selama ini direpresi mulai bermunculan ke permukaan. Orang-orang mulai sadar bahwa selama 32 tahun terakhir mereka hidup dengan kacamata berlapis warna merah jambu yang membuat kehidupan seakan baik-baik saja dan hal-hal buruk seperti isu kekerasan, tekanan bagi etnis minoritas, dan pelanggaran hak asasi manusia dibuat seakan menjadi hal normal sehari-hari yang jauh dari kehidupan mereka. Jumlah para penyintas dan mereka yang masih mengingat melalui pengalaman langsung masa itu mulai menipis. Maka usaha terus menerus dari berbagai generasi untuk berjuang melawan lupa menjadi penting. 

Dalam konteks kekaryaan seni rupa, memang terdapat sejarah-sejarah tertentu yang terkesan hanya bisa dibicarakan oleh orang-orang yang secara langsung terkait dengan peristiwa tersebut karena adanya ketakutan terjadinya pergeseran makna ataupun kesalahan dalam merepresentasikan peristiwa tersebut. Politik representasi dan ketakutan intelektual lainnya terkadang menghentikan seniman muda yang berniat untuk membicarakan peristiwa sejarah dan mengusung tema politik di dalam kekaryaannya. Pertanyaan seperti ‘cerita milik siapa?’, ‘apakah menyajikan ulang akan mengurangi nilai dan kompleksitasnya?’, ‘siapa yang menceritakan kepada siapa?’, dan pertanyaan-pertanyaan terkait politik representasi lainnya tak jarang membuat anak muda mengurungkan niatnya dalam menyajikan karya yang terkait isu politik dan sejarah. Ketika masyarakat mengalami amnesia massal, anak muda yang ingin membagi rasa penasarannya atas sejarah senyap sebuah bangsa terhenti karena takut salah representasi. Bagaimana jika, keinginannya menciptakan representasi yang ilustratif dan sederhana ternyata merupakan sebuah usaha untuk membuka pintu masuk pemahaman atas kompleksitas isu terkait yang terjadi di masa lalu? 

Begitulah kegelisahan seniman muda tergambar dalam karya pameran tunggal Anggun Priambodo ini. Sebuah usaha untuk memilih titik pijak dan mengambil posisi dalam kondisi politik bangsa melalui imaji masa lalu. 


II. 

Anggun Priambodo adalah seniman yang mengalami rezim orde baru di masa remajanya. Ia tumbuh dewasa bersamaan dengan bergantinya rezim tersebut. Gejolak politik yang mewarnai Indonesia, khususnya di Jakarta tempat ia tinggal tentu memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tak langsung pada setiap pilihan kehidupannya. Sejarah perpindahan kekuasaan dan politik ini kemudian menjadi latar atas segala hal yang menjadi pengalaman kesehariannya. 

Dalam penciptaan karya, Anggun terbilang jarang memasukkan muatan politik ataupun sejarah bangsa ke dalam karya-karyanya. Sejauh pengamatan kami, setidaknya terdapat dua karya yang secara jelas membicarakan politik, yaitu “Dimana Saya?” (2008) yang merupakan bagian dari 9808, antologi 10 tahun reformasi, dan “Gelora” (2015) yang menggunakan arsip-arsip pada masa Orde Baru dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Karya Anggun umumnya merupakan kritik sosial dan komentar personal atas hal-hal yang tidak biasa dibicarakan. Ia memilih untuk menjalankan perannya sebagai warga negara yang mengambil posisi dan menggambarkan keberpihakannya melalui personanya yang lain. Ketenarannya sebagai pembuat film dan pendiri Majalah Cobra membuatnya aktif berkampanye melawan lupa, mendukung pemerintahan Ahok dan Jokowi secara terbuka, dan menyampaikan kegelisahannya melalui corong-corong yang lebih besar untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Meskipun selalu memiliki pilihan-pilihan politis dalam penciptaan karyanya, isu politik praktis lebih banyak hadir dalam percakapan dan keseharian Anggun dibandingkan dalam karya seni rupanya.

Percakapan sehari-hari di antara kami bertiga juga lah yang menjadi awal mula rencana pameran ini. Tak jarang percakapan ini melibatkan pandangan politik kami masing-masing. Tanpa disadari, pembahasan politik menjadi latar dari pertemanan kami yang terbilang kasual. Ketika kami berkumpul, kami seakan sibuk melakukan apa yang disebut sebagai refaire le monde—ungkapan dalam keseharian sekelompok teman yang begadang sambil minum-minum dan berbicara panjang lebar tentang segala hal seakan sedang ‘menata ulang dunia’. Terkadang penuh semangat, namun kerap terhenti oleh keterbatasan kapasitas pribadi kami masing-masing. 

Setelah mengalami durasi yang panjang dan terkadang membuat kami kelelahan, kami tiba pada topik yang sedikit nostaljik namun tak berbelok dari hal-hal politik, yaitu ingatan/ pengalaman kami dalam bersentuhan dengan sejarah politik Indonesia; khususnya saat reformasi terjadi. Sebagai orang-orang yang dilahirkan pada tahun 70-80an akhir, bisa dipastikan kami melewati peristiwa 1998 tersebut setidak-tidaknya dalam usia remaja. Usia yang sudah cukup untuk mengingat dan mengalami peristiwa tersebut. Selain itu, posisi keberadaan kami yang berbeda-beda saat itu (Jakarta, kota Jogja, dan Kaliurang) menjadikan pengalaman kami berbeda, begitu juga usia kami yang terpaut hampir sepuluh tahun. Diluar dugaan, satu dari kami bertiga benar-benar tidak mengalami hal-hal yang umumnya dekat dengan peristiwa peralihan kekuasaan tersebut. Ia berada dalam jarak yang aman, nyaman, dan terpisah dari segala kekerasan dan kekacauan tersebut. 

Absennya pengalaman langsung atas peristiwa politik di tahun 1998 ini dari salah seorang diantara kami memunculkan pertanyaan yang sama dan berulang: jika ada seseorang yang tidak memiliki pengalaman atas suatu peristiwa yang pernah terjadi di wilayahnya, sejauh apa ia boleh, dan/atau mampu membicarakannya melalui sebuah karya? Apakah usaha untuk melakukan kompensasi atas ketiadaan pengalaman ini dengan bacaan, obrolan, dan berbagai pembelajaran sudah cukup? Di titik ini pula lah, Anggun memutuskan untuk melihat kembali hubungan antara dirinya dengan sejarah politik tahun tersebut serta memposisikan dirinya secara hipotetis dalam kacamata seseorang yang berbeda generasi darinya. 


III. 

Dalam pameran tunggal kali ini, setidaknya ada dua tantangan yang muncul. Pertama, penggunaan medium video atau film sebagai karya utama; kedua, meletakkan sejarah dan politik sebagai hal yang membingkai keseluruhan karya. Anggun memang dikenal sebagai seniman video ataupun pembuat film namun dalam pameran tunggal sebelumnya ia dengan sengaja tak memilih medium tersebut sebagai karya utamanya. Untuk itulah, pameran tunggal dengan judul “Maaf Senin Tutup” ini berawal dari sebuah film berdurasi kurang lebih 60 menit. 

Karya-karya Anggun yang kerap mengarah ke bentuk-bentuk humor ini pun kembali terlihat dari bagaimana Anggun mencoba menghadirkan kedua tantangan yang sebelumnya telah disebutkan. Bagaimanapun juga, humor adalah strategi kritis untuk mengartikulasikan gagasan politik dan isu representasi. Anggun seolah membagi pameran ini ke dalam dua gagasan yang berkesinambungan, yaitu sebuah film yang ditayangkan secara berkala di salah satu ruang pamer LIR Space, dan sebuah pameran seni rupa di ruang satunya dari Eva Sopu, tokoh fiktif yang hadir di dalam film tersebut. Eva digambarkan sebagai sosok perempuan Jakarta berusia 30 tahun yang sedang berkunjung ke Yogyakarta sebagai bagian dari upayanya mencari inspirasi dan mengejar hasrat menjadi seniman. 

Sosok Anggun dan Eva bisa dibayangkan sebagai serupa tapi tak sama. Keduanya memang hadir dalam kegelisahan yang sama, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan yang juga nyaris sama. Anggun mengalami peristiwa sejarah bangsa secara langsung sebagai bagian dari petualangannya sendiri—kedekatan ini menjadikan pengalaman tersebut utuh menjadi miliknya dan terbawa dalam kehidupan sehari-hari saja. Perbedaan yang untuk kami terlihat jelas adalah ketika Anggun mencoba melihat kembali karya-karyanya yang erat dengan euphoria kebebasan paska reformasi sehingga sejarah dan politik dalam karyanya terkadang muncul sebatas latar belakang. Sedangkan Eva adalah sosok yang sedang mencari posisi kehidupan pribadinya diantara sejarah politik Indonesia. Eva melalui peristiwa sejarah bangsa ini sebagai latar belakang kehidupannya tanpa bersentuhan secara langsung, sehingga ia justru berusaha keras untuk memahami masa yang menimbulkan trauma yang membekas baginya tersebut. 

Eva mencoba mengingat pengalaman terdekatnya dengan reformasi di antara pengalaman pribadinya yang hanya beririsan tipis dengan peristiwa penting negeri ini. Dengan memilih memunculkan pengalaman-pengalaman keseharian sebagai latar dari pamerannya, Eva mencuri-curi kesempatan untuk memunculkan satu pengalaman yang paling dekat dengan dirinya dan peristiwa kekerasan di masa kejatuhan Orde Baru tersebut, yaitu konser Kantata Takwa Samsara tahun 1998. Sebuah konser besar yang diselenggara dua bulan tepat selepas kerusuhan besar Mei ‘98, yang berujung aksi keributan dan bocornya kepala ayahnya akibat terlempar batu. Mungkin bagi Eva, amnesia sejarah dan romantisme atas masa lalu lah yang lebih menakutkan daripada segala traumanya atas kerusuhan, kerumunan, dan batu yang menghantam kepala ayahnya. Berusaha mengingat dan menyimpan ingatan itu sendiri tidak akan pernah cukup sehingga Eva mulai memberanikan diri mengilustrasikan ingatan samar-samarnya atas sejarah bangsa ini melalui pameran tunggalnya. Eva, digambarkan oleh Anggun sebagai sosok yang sedang mengambil langkah pertama dalam mengambil sikap politiknya—sebuah perjuangannya melawan lupa.


LIR | (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono)